Langkah Pertama Adalah Langkah Terakhir
Posted by Muhammad Irfan on Friday, December 06, 2013 with No comments
Langkah pertama adalah langkah terakhir.
Langkah pertama adalah langkah dari persepsi yang jernih, dan tindakan
persepsi yang jernih itu adalah tindakan terakhir. Ketika Anda melihat
bahaya, seekor ular, persepsi itu sendiri adalah tindakan yang lengkap. Pahamkah Anda?
Nah, kita katakan langkah pertama adalah langkah terakhir. Langkah
pertama adalah melihat (perceive), melihat apa yang Anda pikirkan,
melihat ambisi Anda, melihat kecemasan Anda, kesepian Anda, keputusasaan
Anda, rasa kesedihan yang luar biasa ini, melihatnya, tanpa pengutukan,
pembenaran apa pun, tanpa menginginkannya menjadi lain. Hanya sekadar
melihatnya, seperti apa adanya.
Bila Anda melihatnya seperti
apa adanya, maka terjadilah tindakan yang sama sekali lain, dan tindakan
itu adalah tindakan terakhir. Bukan?
Artinya, ketika Anda
melihat/mempersepsi sesuatu sebagai palsu atau sebagai benar, maka
persepsi itu adalah tindakan terakhir. Bukan?
Sekarang,
simaklah. Saya melihat kepalsuan mengikuti orang lain, instruksi orang
lain - Krishna, Buddha, Kristus, tidak peduli siapa pun dia. Saya
melihat, terdapat persepsi atau kebenaran bahwa mengikuti orang lain
adalah sepenuhnya salah. Bukan? Oleh karena akal budi Anda, logika Anda
dan segala sesuatu menunjuk pada betapa absurdnya mengikuti orang lain.
Nah, persepsi itu adalah langkah terakhir, dan ketika Anda sudah
melihat, Anda meninggalkannya, melupakannya, oleh karena pada menit
berikutnya Anda harus melihat yang baru, yang lagi-lagi adalah langkah
terakhir.
Jika Anda tidak melepaskan apa yang telah Anda
pelajari, apa yang telah Anda lihat, maka terdapat kontinuitas dari
gerak pikiran; dan gerak dan kontinuitas pikiran adalah waktu. Dan bila
batin terperangkap di dalam gerak waktu, ia terbelenggu.
Jadi,
itu adalah salah satu masalah utama, yaitu apakah batin bisa bebas dari
masa lampau, dari penyesalan masa lampau, kenikmatan masa lampau,
ingatan, kenangan, peristiwa dan pengalaman, segala sesuatu yang telah
kita bangun, masa lampau, yang adalah juga si aku.
Si aku
adalah masa lampau. Nah, pikiran memberikan kontinuitas kepada sesuatu
yang telah terlihat dengan jelas, dan karena tidak mampu
mengesampingkannya, itu memberinya kontinuitas yang menjadi alat untuk
melestarikan pikiran.
Kemarin Anda mengalami peristiwa yang
menyenangkan. Anda tidak melupakannya, Anda tidak melepaskannya, Anda
membawa-bawanya, Anda memikirkannya. Memikirkan tentang sesuatu yang
telah lampau memberikan kontinuitas kepada masa lampau. Dengan demikian,
tidak pernah ada pengakhiran masa lampau. Anda paham semua ini?
Tetapi jika Anda melihat bahwa Anda mengalami peristiwa yang sangat
luar biasa dan menyenangkan kemarin, melihatnya, mempersepsikannya, dan
mengakhirinya dengan sempurna, tidak membawa-bawanya, maka tidak ada
kontinuitas sebagai masa lampau yang dibangun oleh pikiran. Dengan
demikian setiap langkah adalah langkah terakhir. Pahamkah Anda?
Jadi batin tidak hidup bersama pikiran, yang adalah respons dari masa
lampau, dan memberikan kelanjutan kepada pikiran itu ke masa depan, yang
mungkin menit berikutnya, detik berikutnya. Dan pikiran adalah respons
ingatan, yang adalah struktur sel-sel otak itu sendiri. Jika Anda pernah
mengamati batin Anda sendiri, Anda akan melihat bahwa di dalam sel-sel
otak itu sendiri terdapat bahan ingatan, dan ingatan itu merespons, yang
adalah pikiran.
Untuk menghasilkan perubahan (mutation) total
pada kualitas sel itu sendiri, harus ada pengakhiran dari setiap
persepsi, pemahaman, melihat, bertindak dan meninggalkan itu, sehingga
batin selalu melihat dan mati, melihat kepalsuan dari kebenaran itu dan
mengakhirinya dan bergerak terus tanpa membawa-bawa ingatan. Bukan?
Semua ini menuntut persepsi yang sangat kuat, vitalitas, energi yang
sangat besar. Untuk menyelami ini selangkah demi selangkah seperti
tengah kita lakukan, tanpa terlewat satu hal pun, membutuhkan energi
sangat besar.
....
Bagaimana batin, tanpa mengikuti
suatu sistem, tanpa mengikuti suatu paksaan, tanpa pembandingan apa pun,
bagaimana batin yang telah terkondisi begitu lama, bisa kosong
sepenuhnya dari masa lampau? Anda paham pertanyaan saya? Kosong
sepenuhnya sehingga ia melihat dengan jelas, dan apa yang jelas terlihat
mengakhirinya, sehingga ia selalu memperbarui dirinya dalam kekosongan,
artinya, memperbarui dirinya dalam kepolosan (innocence).
Nah,
kata 'kepolosan' berarti batin yang polos, batin yang tak pernah bisa
terluka. Kata 'innocence' berasal dari sebuah kata Latin yang berarti
'tak dapat terluka'. Dan kebanyakan dari kita terluka, terluka dengan
segala ingatan yang kita timbun di sekitar luka-luka itu; penyesalan
kita, kerinduan kita, kesepian kita, ketakutan kita adalah bagian dari
rasa terluka ini.
Dari sejak kanak-kanak kita terluka secara
sadar atau tak sadar. Bagaimana mengosongkan semua luka itu, tanpa
mengambil waktu —Anda paham?— tanpa berkata, "Saya akan berangsur-angsur
melenyapkan luka itu?" Bila Anda lakukan itu, Anda tak akan pernah
mengakhirinya, Anda mati pada akhirnya.
Jadi, masalahnya
ialah: bisakah batin mengosongkan dirinya sama sekali, bukan saja di
tingkat permukaan, tetapi juga di kedalaman dirinya, pada akarnya. Oleh
karena kalau tidak, kita hidup di dalam penjara, kita hidup di dalam
penjara sebab dan akibat di dunia perubahan ini.
Jadi Anda
harus mengajukan pertanyaan ini, mengajukannya kepada diri Anda sendiri:
apakah batin Anda bisa kosong dari segenap masa lampaunya, namun tetap
mempertahankan pengetahuan teknologis, pengetahuan insinyur Anda,
pengetahuan bahasa Anda, ingatan dari semua itu, namun berfungsi dari
sebuah batin yang kosong sepenuhnya?
Pengosongan batin itu
terjadi secara alamiah, secara manis tanpa disuruh, bila Anda memahami
diri Anda, bila Anda memahami apa diri Anda itu.
Diri Anda
adalah ingatan, kumpulan ingatan, pengalaman, pikiran. Bila Anda
memahami itu, memandangnya, mengamatinya; dan bila Anda mengamatinya,
melihat di dalam pengamatan itu tidak ada dualitas antara si pengamat
dan yang diamati.
Maka bila Anda melihat itu, Anda akan melihat
bahwa batin Anda bisa kosong sepenuhnya, penuh perhatian. Dan di dalam
perhatian itu, Anda bisa bertindak secara utuh, tanpa keterpecahan
(fragmentation) sedikit pun. Semua itu adalah bagian dari meditasi.
Dan bila Anda memahami sepenuhnya seluruh keterpecahan dari diri Anda
—-bukan keterpaduan (integration)—- pahamilah bagaimana keterpecahan dan
kontradiksinya muncul, bukan bagaimana mempersatukannya kembali. Anda
tak bisa melakukan itu. Mempersatukan menyiratkan ada dualitas - orang
yang mengerjakan itu, yang memadukan, dan sebagainya.
Maka bila
Anda sungguh-sungguh, secara mendalam, secara kuat memahami diri Anda,
belajar tentang diri Anda, maka Anda bisa memahami makna dari waktu,
waktu yang mengikat, menahan, yang menghasilkan kesedihan.
Jika
Anda telah melangkah sejauh itu --dan itu bukan berarti Anda pergi jauh
dalam jarak—- jauh secara kata-kata --bukan jauh yang terukur-- jika
Anda telah melangkah sejauh itu --bukan dalam ketinggian maupun
kedalaman-- jika Anda telah sampai pada ketinggian pemahaman, dengan
kepenuhan itu, maka Anda akan mendapati sendiri suatu dimensi yang tak
dapat diuraikan, yang tidak punya kata-kata, yang bukan sesuatu yang
bisa dibeli dengan pengorbanan, yang tidak tercantum dalam kitab-kitab,
yang tidak bisa dialami oleh Guru mana pun.
Ia ingin mengajar
Anda tentang itu, bagaimana mencapainya. Dengan demikian, kalau ia
berkata, "Saya telah mengalami itu, dan saya tahu apa itu," ia belum
mengalaminya, ia tidak tahu apa itu. Orang yang berkata ia tahu, tidak
tahu.
Jadi batin harus bebas, dari kata itu, citra itu, masa lampau; dan itu adalah langkah pertama dan langkah terakhir.
~ J KRISHNAMURTI
0 comments:
Post a Comment