Ini pendapat Gus Dur soal perayaan Natal
Posted by Muhammad Irfan on Thursday, December 19, 2013 with No comments
Sekarang sedang ribut berita
soal ucapan selamat natal dari seorang muslim kepada umat Kristen yang
diharamkan oleh ulama Aceh. Alasannya, perayaan Natal merupakan ritual
keagamaan non-Muslim yang tidak dibenarkan bagi umat Islam untuk
mengikutinya.
"Haram juga ucapan Natal, jangankan ikut
mengucapkan, menyerupai saja dengan yang bukan budaya Islam sudah haram,
apa lagi ikut terlibat dengan mengucapkannya," kata ketua Majelis
Permusyawaratan Ulama (MPU) Banda Aceh, Abdul Karim Syeikh, Sabtu
(14/12) saat dihubungi merdeka.com.
Sejak dulu sebenarnya masalah
seperti ini sudah menjadi polemik di tengah masyarakat Indonesia yang
majemuk. Ada sebagian yang menilai haram, ada juga yang tidak. Nah,
untuk memperkaya referensi, ada baiknya anda tahu bagaimana pendapat Gus Dur soal masalah ini.
Gus Dur pernah menulis artikel di Koran Suara Pembaruan pada 20 Desember 2003 berjudul: Harlah, Natal dan Maulid. Menurut Gus Dur
, kata Natal yang menurut arti bahasa sama dengan kata harlah (hari
kelahiran), hanya dipakai untuk Nabi Isa al-Masih belaka. Jadi ia
mempunyai arti khusus, lain dari yang digunakan secara umum -seperti
dalam bidang kedokteran ada istilah perawatan pre-natal yang berarti
"perawatan sebelum kelahiran".
Dengan demikian, maksud istilah
'Natal' adalah saat Isa Al-Masih dilahirkan ke dunia oleh 'perawan suci'
Maryam. Karena itulah ia memiliki arti tersendiri, yaitu saat kelahiran
anak manusia bernama Yesus Kristus untuk menebus dosa manusia.
Sedangkan Maulid, Gus Dur
menjelaskan, adalah saat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Pertama kali
dirayakan kaum Muslimin atas perintah Sultan Shalahuddin al-Ayyubi atau
dalam dunia barat dikenal sebagai Saladin, dari Dinasti Mamalik yang
berkebangsaan Kurdi. Tujuannya untuk mengobarkan semangat kaum Muslimin,
agar menang dalam perang Salib (crusade).
Dia memerintahkan
membuat peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad, enam abad setelah
Rasulullah wafat. Peristiwa Maulid itu hingga kini masih dirayakan dalam
berbagai bentuk, walaupun Dinasti Sa'ud melarangnya di Saudi Arabia.
Karya-karya tertulis berbahasa Arab banyak ditulis dalam puisi dan prosa
untuk menyambut kelahiran Nabi Muhammad itu.
Dengan demikian, Gus Dur
melanjutkan, dua kata (Natal dan Maulid) mempunyai makna khusus, dan
tidak bisa disamakan. Dalam bahasa teori Hukum Islam (fiqh) kata Maulid
dan Natal adalah "kata yang lebih sempit maksudnya, dari apa yang
diucapkan" (yuqlaqu al'am wa yuradu bihi al-khash). Penyebabnya adalah
asal-usul istilah tersebut dalam sejarah perkembangan manusia yang
beragam. Artinya jelas, Natal dipakai orang-orang Kristiani, sedangkan
maulid dipakai orang-orang Islam.
Menurut Gus Dur
, Natal dalam kitab suci Alquran disebut sebagai "yauma wulida" (hari
kelahiran, yang secara historis oleh para ahli tafsir dijelaskan sebagai
hari kelahiran Nabi Isa, seperti terkutip: "kedamaian atas orang yang
dilahirkan (hari ini)" (salamun yauma wulid) yang dapat dipakaikan pada
beliau atau kepada Nabi Daud. Sebaliknya, firman Allah dalam surat
al-Maryam: "Kedamaian atas diriku pada hari kelahiranku" (al-salamu
'alaiyya yauma wulidtu), jelas-jelas menunjuk kepada ucapan Nabi Isa.
Bahwa
kemudian Nabi Isa 'dijadikan' Anak Tuhan oleh umat Kristiani, adalah
masalah lain lagi. Artinya, secara tidak langsung Natal memang diakui
oleh kitab suci al-Qur'an, juga sebagai kata penunjuk hari kelahiran
beliau, yang harus dihormati oleh umat Islam juga. Bahwa, hari kelahiran
itu memang harus dirayakan dalam bentuk berbeda, atau dalam bentuk yang
sama tetapi dengan maksud berbeda, adalah hal yang tidak perlu
dipersoalkan.
"Jika penulis ( Gus Dur ) merayakan Natal adalah penghormatan untuk beliau (Isa) dalam pengertian yang penulis yakini, sebagai Nabi Allah SWT."
Dengan demikian, Gus Dur
melanjutkan, "menjadi kemerdekaan bagi kaum Muslimin untuk turut
menghormati hari kelahiran Nabi Isa, yang sekarang disebut hari Natal.
Mereka bebas merayakannya atau tidak, karena itu sesuatu yang dibolehkan
oleh agama. Penulis ( Gus Dur ) menghormatinya, kalau perlu dengan turut bersama kaum Kristiani merayakannya bersama-sama."
Dalam litelatur fiqih, Gus Dur
mengimbuhkan, jika seorang muslim duduk bersama-sama dengan orang lain
yang sedang melaksanakan peribadatan mereka, seorang Muslim
diperkenankan turut serta duduk dengan mereka asalkan ia tidak turut
dalam ritual kebaktian. Namun hal ini masih merupakan ganjalan bagi kaum
muslimin pada umumnya, karena kekhawatiran mereka akan dianggap turut
berkebaktian yang sama.
"Karena itulah, kaum Muslimin biasanya
menunggu di sebuah ruangan, sedangkan ritual kebaktian dilaksanakan di
ruang lain. Jika telah selesai, baru kaum Muslimin duduk bercampur
dengan mereka untuk menghormati kelahiran Isa al-Masih."
@ http://www.merdeka.com/peristiwa/ini-pendapat-gus-dur-soal-perayaan-natal.html
0 comments:
Post a Comment