The Knowledge For Our Common

Friday, April 03, 2015

KETAKUTAN ADALAH TIDAK MENERIMA APA ADANYA



Ketakutan menggunakan berbagai cara pelarian. Cara yang paling umum adalah pengidentifikasian bukan?—pengidentifikasian dengan negara, dengan masyarakat, dengan suatu gagasan. Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana respons Anda ketika Anda melihat suatu arak-arakan: arak-arakan militer atau arak-arakan keagamaan, atau apabila negara terancam serangan dari luar?
Anda lalu mengidentifikasikan diri Anda dengan negara, dengan suatu makhluk, dengan suatu ideologi. Ada pula saat-saat ketika Anda mengidentifikasikan diri Anda dengan anak-anak Anda, dengan istri Anda, dengan suatu bentuk tindakan tertentu, atau penolakan bertindak tertentu. Pengidentifikasian adalah proses melupakan-diri. Selama saya sadar akan sang “aku”, saya tahu ada kesakitan, ada pergulatan, ada ketakutan terus-menerus. Tetapi jika saya dapat mengidentifikasikan diri saya dengan sesuatu yang lebih besar, dengan sesuatu yang bermanfaat, dengan keindahan, dengan kehidupan, dengan kebenaran, dengan kepercayaan, dengan pengetahuan, setidak-tidaknya untuk sementara, maka terdapat pelarian dari sang “aku”, bukan?
Jika saya bicara tentang “negaraku”, saya lupa akan diri saya untuk sementara waktu, bukan? Jika saya bisa bicara tentang Tuhan, saya lupa akan diri saya. Jika saya mengidentifikasikan diri saya dengan keluarga saya, dengan sebuah kelompok, dengan sebuah partai tertentu, dengan sebuah ideologi tertentu, maka terdapat pelarian sementara. Tahukah kita sekarang, apa ketakutan itu?
Bukankah itu berarti tidak menerima apa adanya?
Kita harus memahami kata ‘menerima’. Saya tidak menggunakan kata itu dalam arti suatu upaya untuk menerima. Tidak ada masalah menerima bila saya melihat apa adanya. Bila saya tidak melihat dengan jelas apa adanya, maka saya memasukkan proses menerima. Oleh karena itu, ketakutan adalah tidak menerima apa adanya.


~ J. Krishnamurti
Image Source : https://enigmaticdiablerie.files.wordpress.com/

Wednesday, April 01, 2015

KEKACAUAN YANG DICIPTAKAN OLEH WAKTU



Waktu berarti bergerak dari apa adanya menuju “apa seharusnya”. Saya sekarang takut, dan suatu hari kelak saya akan bebas dari ketakutan; oleh karena itu, diperlukan waktu untuk bebas dari ketakutan—setidak-tidaknya begitulah pikiran kita. Untuk berubah dari apa adanya menjadi “apa seharusnya” dibutuhkan waktu. Nah, waktu menyiratkan adanya upaya di dalam selang waktu antara apa adanya dan “apa seharusnya”. Saya tidak suka ketakutan, dan saya akan berupaya memahami, menganalisis, membedahnya, atau saya akan menemukan akar penyebabnya, atau saya akan melarikan diri sama sekali darinya. Semua ini menyiratkan upaya—dan upaya adalah apa yang kita kenal. Kita selalu berada dalam konflik antara apa adanya dengan “apa seharusnya”. “Apa seharusnya” adalah suatu gagasan, dan gagasan itu khayal, itu bukan ‘apa adanya diri saya’, yang adalah fakta. Dan “apa adanya diri saya” hanya dapat diubah apabila saya memahami kekacauan yang diciptakan oleh waktu.
.... Jadi, mungkinkah bagi saya untuk bebas dari ketakutan sama sekali, sepenuhnya, seketika? Jika saya biarkan ketakutan berlanjut, saya akan menciptakan kekacauan selamanya. Oleh karena itu, kita melihat bahwa waktu adalah suatu unsur di dalam kekacauan, bukan cara untuk pada akhirnya bebas dari ketakutan. Jadi, tidak ada proses berangsur-angsur untuk bebas dari ketakutan, persis seperti tidak ada proses berangsur-angsur untuk bebas dari racun nasionalisme. Jika Anda memiliki nasionalisme dan Anda berkata pada akhirnya akan ada persaudaraan sesama manusia, di dalam selang waktu itu akan ada perang, ada kebencian, ada kesengsaraan, ada perpecahan yang mengerikan di antara sesama manusia ini; oleh karena itu, waktu menciptakan kekacauan.

~ J. Krishnamurti
Image Source : http://www.kampung-media.com/

AKAR DARI KETAKUTAN



Keinginan untuk menjadi [sesuatu] menyebabkan ketakutan; menjadi,
mencapai, dan dengan demikian bergantung, menghasilkan ketakutan. Keadaan tak-takut bukanlah suatu negasi; itu bukan lawan dari keetakutan, bukan pula keberanian. Di dalam pemahaman akan sebab ketakutan, terdapat akhir dari ketakutan, bukan menjadi berani, oleh krena di dalam proses menjadi terdapat benih ketakutan.

Kebergantungan kepada benda-benda, kepada orang atau kepada gagasan menumbuhkan.ketakutan; kebergantungan muncul dari ketaktahuan, dari tidak adanya pengetahuan-diri, dari kemiskinan batiniah; ketakutan menyebabkan ketakpastian dari pikiran-hati, menghalangi komunikasi dan pemahaman. Melalui kesadaran-diri kita mulai menemukan dan dengan demikian memahami sebab dari ketakutan; bukan hanya yang dangkal, tetapi juga ketakutan yang kausal, dalam dan akumulatif.
Ketakutan kita warisi dan kita dapat; ia berkaitan dengan masa lampau, dan untuk membebaskan pikiran-perasaan darinya, masa lampau harus dipahami melalui masa kini. Masa lampau terus-menerus ingin melahirkan masa kini, yang menjadi ingatan “aku”, “milikku”, “diri”, yang memberi identitas. Diri inilah akar dari segala ketakutan.



Image Source : http://4.bp.blogspot.com/


~ J. Krishnamurti