The Knowledge For Our Common

Friday, May 01, 2015

BAGAIMANA SAYA MEMANDANG ANDA MARAH?



Jelas, saya memandangnya sebagai seorang pengamat yang marah. Saya berkata, “Saya marah.” Pada saat marah, tidak ada ‘aku’; sang ‘aku’ muncul sesaat kemudian—yang berarti waktu. Dapatkah saya memandang fakta itu tanpa faktor waktu, yang adalah pikiran, yang adalah kata? Ini terjadi bila orang memandang tanpa si pengamat. Lihat ke mana itu menuntun saya. Sekarang saya mulai melihat suatu cara memandang—melihat tanpa opini, tanpa kesimpulan, tanpa menyalahkan, tanpa menghakimi. Maka, saya melihat kemungkinan “melihat” tanpa pikiran, yang adalah kata. Maka batin berada di luar cengkeraman gagasan, konflik dualitas dan seterusnya. Jadi, dapatkah saya memandang rasa takut bukan sebagai fakta terisolasi?
Jika anda mengisolasikan suatu fakta yang belum membuka pintu kepada segenap alam batin, marilah kita kembali kepada fakta dan mulai lagi dengan mengambil fakta lain, sehingga Anda sendiri dapat mulai melihat keadaan batin yang luar biasa, sehingga Anda memiliki kunci, Anda dapat membuka pintu, anda dapat menembus ke dalamnya. ...
... Dengan merenungkan satu ketakutan—takut akan kematian, takut akan tetangga, takut bahwa teman hidup Anda akan mendominasi Anda; Anda tahu masalah dominasi itu—apakah itu akan membuka pintu? Itulah yang penting—bukan bagaimana untuk bebas dari itu—oleh karena begitu Anda membuka pintu, ketakutan itu terhapus sama sekali. Batin adalah hasil dari waktu, dan waktu adalah kata—betapa luar biasa memikirkan itu! Waktu adalah pikiran; pikiranlah yang menumbuhkan ketakutan, pikiranlah yang menumbuhkan ketakutan akan kematian; dan waktulah, yang adalah pikiran, yang menggenggam seluruh liku-liku dan kehalusan ketakutan.

Image Source : http://cdn.klimg.com/merdeka.com/
~ J. Krishnamurti

Friday, April 03, 2015

KETAKUTAN ADALAH TIDAK MENERIMA APA ADANYA



Ketakutan menggunakan berbagai cara pelarian. Cara yang paling umum adalah pengidentifikasian bukan?—pengidentifikasian dengan negara, dengan masyarakat, dengan suatu gagasan. Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana respons Anda ketika Anda melihat suatu arak-arakan: arak-arakan militer atau arak-arakan keagamaan, atau apabila negara terancam serangan dari luar?
Anda lalu mengidentifikasikan diri Anda dengan negara, dengan suatu makhluk, dengan suatu ideologi. Ada pula saat-saat ketika Anda mengidentifikasikan diri Anda dengan anak-anak Anda, dengan istri Anda, dengan suatu bentuk tindakan tertentu, atau penolakan bertindak tertentu. Pengidentifikasian adalah proses melupakan-diri. Selama saya sadar akan sang “aku”, saya tahu ada kesakitan, ada pergulatan, ada ketakutan terus-menerus. Tetapi jika saya dapat mengidentifikasikan diri saya dengan sesuatu yang lebih besar, dengan sesuatu yang bermanfaat, dengan keindahan, dengan kehidupan, dengan kebenaran, dengan kepercayaan, dengan pengetahuan, setidak-tidaknya untuk sementara, maka terdapat pelarian dari sang “aku”, bukan?
Jika saya bicara tentang “negaraku”, saya lupa akan diri saya untuk sementara waktu, bukan? Jika saya bisa bicara tentang Tuhan, saya lupa akan diri saya. Jika saya mengidentifikasikan diri saya dengan keluarga saya, dengan sebuah kelompok, dengan sebuah partai tertentu, dengan sebuah ideologi tertentu, maka terdapat pelarian sementara. Tahukah kita sekarang, apa ketakutan itu?
Bukankah itu berarti tidak menerima apa adanya?
Kita harus memahami kata ‘menerima’. Saya tidak menggunakan kata itu dalam arti suatu upaya untuk menerima. Tidak ada masalah menerima bila saya melihat apa adanya. Bila saya tidak melihat dengan jelas apa adanya, maka saya memasukkan proses menerima. Oleh karena itu, ketakutan adalah tidak menerima apa adanya.


~ J. Krishnamurti
Image Source : https://enigmaticdiablerie.files.wordpress.com/

Wednesday, April 01, 2015

KEKACAUAN YANG DICIPTAKAN OLEH WAKTU



Waktu berarti bergerak dari apa adanya menuju “apa seharusnya”. Saya sekarang takut, dan suatu hari kelak saya akan bebas dari ketakutan; oleh karena itu, diperlukan waktu untuk bebas dari ketakutan—setidak-tidaknya begitulah pikiran kita. Untuk berubah dari apa adanya menjadi “apa seharusnya” dibutuhkan waktu. Nah, waktu menyiratkan adanya upaya di dalam selang waktu antara apa adanya dan “apa seharusnya”. Saya tidak suka ketakutan, dan saya akan berupaya memahami, menganalisis, membedahnya, atau saya akan menemukan akar penyebabnya, atau saya akan melarikan diri sama sekali darinya. Semua ini menyiratkan upaya—dan upaya adalah apa yang kita kenal. Kita selalu berada dalam konflik antara apa adanya dengan “apa seharusnya”. “Apa seharusnya” adalah suatu gagasan, dan gagasan itu khayal, itu bukan ‘apa adanya diri saya’, yang adalah fakta. Dan “apa adanya diri saya” hanya dapat diubah apabila saya memahami kekacauan yang diciptakan oleh waktu.
.... Jadi, mungkinkah bagi saya untuk bebas dari ketakutan sama sekali, sepenuhnya, seketika? Jika saya biarkan ketakutan berlanjut, saya akan menciptakan kekacauan selamanya. Oleh karena itu, kita melihat bahwa waktu adalah suatu unsur di dalam kekacauan, bukan cara untuk pada akhirnya bebas dari ketakutan. Jadi, tidak ada proses berangsur-angsur untuk bebas dari ketakutan, persis seperti tidak ada proses berangsur-angsur untuk bebas dari racun nasionalisme. Jika Anda memiliki nasionalisme dan Anda berkata pada akhirnya akan ada persaudaraan sesama manusia, di dalam selang waktu itu akan ada perang, ada kebencian, ada kesengsaraan, ada perpecahan yang mengerikan di antara sesama manusia ini; oleh karena itu, waktu menciptakan kekacauan.

~ J. Krishnamurti
Image Source : http://www.kampung-media.com/

AKAR DARI KETAKUTAN



Keinginan untuk menjadi [sesuatu] menyebabkan ketakutan; menjadi,
mencapai, dan dengan demikian bergantung, menghasilkan ketakutan. Keadaan tak-takut bukanlah suatu negasi; itu bukan lawan dari keetakutan, bukan pula keberanian. Di dalam pemahaman akan sebab ketakutan, terdapat akhir dari ketakutan, bukan menjadi berani, oleh krena di dalam proses menjadi terdapat benih ketakutan.

Kebergantungan kepada benda-benda, kepada orang atau kepada gagasan menumbuhkan.ketakutan; kebergantungan muncul dari ketaktahuan, dari tidak adanya pengetahuan-diri, dari kemiskinan batiniah; ketakutan menyebabkan ketakpastian dari pikiran-hati, menghalangi komunikasi dan pemahaman. Melalui kesadaran-diri kita mulai menemukan dan dengan demikian memahami sebab dari ketakutan; bukan hanya yang dangkal, tetapi juga ketakutan yang kausal, dalam dan akumulatif.
Ketakutan kita warisi dan kita dapat; ia berkaitan dengan masa lampau, dan untuk membebaskan pikiran-perasaan darinya, masa lampau harus dipahami melalui masa kini. Masa lampau terus-menerus ingin melahirkan masa kini, yang menjadi ingatan “aku”, “milikku”, “diri”, yang memberi identitas. Diri inilah akar dari segala ketakutan.



Image Source : http://4.bp.blogspot.com/


~ J. Krishnamurti



Saturday, January 31, 2015

PENGETAHUAN DIRI

http://www.kliktoday.com/


Berpikir benar datang dengan pengenalan-diri. Tanpa memahami diri Anda, Anda tidak punya dasar untuk berpikir; tanpa pengenalan-diri, yang Anda pikir adalah tidak benar. Anda dan dunia bukan dua entitas berbeda dengan problem terpisah; Anda dan dunia adalah satu. Problem Anda adalah problem dunia. Anda mungkin hasil dari kecenderungan-kecenderungan tertentu, dari pengaruh lingkungan, tetapi Anda tidak berbeda secara mendasar dengan orang lain.
Secara batiniah, kita semua sangat mirip; kita semua didorong oleh keserakahan, keinginan jahat, ketakutan, ambisi dan sebagainya. Kepercayaan, harapan, aspirasi kita mempunyai landasan bersama. Kita adalah satu; kita adalah satu kemanusiaan, sekalipun batas-batas artifisial dari ekonomi dan politik dan prasangka memecah-belah kita. Jika Anda membunuh orang lain, Anda merusak diri sendiri. Anda adalah pusat dari keseluruhan, dan tanpa memahami diri Anda sendiri Anda tidak dapat memahami realitas.
Kita mempunyai pengetahuan intelektual tentang kesatuan ini, tetapi kita tetap menyimpan pengetahuan dan perasaan dalam kotak-kotak yang berbeda, dan oleh karena itu kita tidak pernah mengalami kesatuan yang luar biasa dari manusia.


 J. Krishanmurti

Thursday, January 22, 2015

DAPATKAH SAYA BERGANTUNG PADA PENGALAMAN SAYA ?


Kebanyakan dari kita puas dengan otoritas karena ia memberi kita kesinambungan, kepastian, suatu rasa terlindung. Tetapi orang yang ingin memahami implikasi dari revolusi psikologis yang mendalam ini haruslah bebas dari otoritas, bukan?
Ia tidak dapat mengharapkan otoritas apa pun, baik yang diciptakannya sendiri maupun yang dipaksakan oleh orang lain. Mungkinkah itu?
Mungkinkah bagi saya untuk tidak bergantung pada otoritas pengalaman saya sendiri?
Bahkan setelah saya membuang semua ungkapan lahiriah dari otoritas—buku, guru, rohaniwan, tempat ibadah, kepercayaan—saya masih merasa bahwa setidak-tidaknya saya dapat bergantung pada penilaian saya sendiri, pada pengalaman saya sendiri, pada analisis saya sendiri.
Tetapi dapatkah saya bergantung pada pengalaman saya, pada penilaian saya, pada analisis saya?
Pengalaman saya adalah hasil dari keterkondisian saya, persis seperti pengalaman Anda adalah hasil dari keterkondisian Anda, bukan?
Saya mungkin dibesarkan sebagai seorang Muslim, atau Buddhis, atau Hindu, dan pengalaman saya ditentukan oleh latar belakang budaya, ekonomis, sosial, dan religius, persis seperti pengalaman Anda juga. Dapatkah saya bergantung pada itu?
Dapatkah saya bergantung untuk mendapatkan tuntunan saya, harapan, penglihatan yang membuat saya yakin dalam penilaian saya sendiri, yang lagi-lagi adalah hasil dari akumulasi ingatan, pengalaman, keterkondisian masa lampau yang berjumpa dengan saat kini? ... Nah, bila saya ajukan semua pertanyaan ini kepada diri saya sendiri, dan saya sadar akan masalah ini, saya melihat bahwa hanya ada satu keadaan yang di situ realitas, kebaruan, dapat muncul, yang menghasilkan suatu revolusi. Keadaan itu adalah bila batin sama sekali kosong dari masa lampau, bila di situ tiada si penganalisis, tiada pengalaman, tiada penilaian, tiada otoritas dalam bentuk apa pun.


~ J. Krishnamurti

Wednesday, January 21, 2015

KEBAHAGIAAN/KENIKMATAN BERKAITAN DENGAN KEINGINAN


Saya telah mencicipi sebuah makanan dan saya menginginkan lebih banyak lagi; itu memberi saya sukacita: ada seks, ada kebahagiaan malam yang indah, kebahagiaan matahari terbenam, cahaya di permukaan air sementara sungai mengalir lewat, keindahan seekor burung melayang di udara, keindahan sebuah wajah, sebuah kalimat yang membangunkan sukacita mendalam, seulas senyum.
Lalu ada keinginan yang berkata, aku ingin mengalami lebih banyak lagi, dan keinginan -entah seksual, psikologis, atau lainnya- yang telah merasakan suatu kebahagiaan ingin mengulanginya.
Pengulangan itu muncul pada saat pikiran muncul. Kemarin malam, di antara awan-awan dan di bawah terpaan angin, tiba-tiba terdapat secercah cahaya matahari bersinar di sawah yang hijau. Cahaya itu luar biasa, penuh, kaya, dan warna hijau begitu hidup. Mata melihatnya; pikiran mencatatnya dan sangat berbahagia dalam keindahan itu, dalam cahaya itu, dalam warna hijau yang tiada taranya.
Saya ingin mengulangi kembali sukacita itu, maka hari ini saya mencari cahaya yang sama lagi, keindahan yang sama, perasaan yang sama - yang adalah pikiran.
Tindakan melihat adalah satu hal; lalu pikiran muncul dan berkata, "Saya ingin merasakannya lebih banyak lagi, saya harus mengulanginya lagi esok."
Pengulangannya adalah awal kebahagiaan. Ketika saya melihat cahaya di sawah itu, tidak ada keinginan, tidak ada kebahagiaan; yang ada hanyalah pengamatan dan sukacita yang besar. Lalu pikiran muncul dan berkata, "Ya Allah, betapa baiknya kalau saya dapat memperolehnya lagi esok."
Itulah yang kita lakukan sepanjang waktu - mungkin itu bersifat seksual, mungkin ketika seseorang menyanjung dan berkata ia teman Anda - pikiran masuk dan ingin mengulanginya. Awal kebahagiaan adalah awal pikiran di dalam konflik. Pikiranlah yang menuntut, yang menciptakan konflik.


[J Krishnamurti - Collected Works, Vol. XVI ,216]

Monday, January 19, 2015

BATIN YANG TUA TERIKAT OLEH OTORITAS


Masalahnya adalah: mungkinkah batin yang begitu terkondisi—terdidik dalam sekte, agama yang tak terhitung banyaknya, dan segala takhyul, ketakutan—melepaskan diri dari dirinya sendiri dan dengan demikian menghasilkan batin yang baru? ... Batin yang tua pada dasarnya adalah batin yang terikat oleh otoritas.
Saya tidak menggunakan istilah ‘otoritas’ dalam arti hukum; yang saya maksud dengan kata itu adalah otoritas sebagai tradisi, otoritas sebagai pengetahuan, otoritas sebagai pengalaman, otoritas sebagai cara untuk memperoleh rasa aman dan tinggal dalam rasa aman itu, secara lahiriah atau batiniah, oleh karena bagaimana pun juga, itulah yang selalu dicari oleh batin—suatu tempat yang di situ ia bisa merasa aman, tak terganggu.
Otoritas seperti itu mungkin otoritas sebuah gagasan yang diterapkan sendiri, atau apa yang disebut gagasan religius tentang Tuhan, yang tidak punya realitas bagi orang yang benar-benar religius. Gagasan bukan fakta, tapi fiksi. Tuhan adalah fiksi; Anda mungkin percaya itu, tapi itu tetap fiksi. Tetapi untuk menemukan Tuhan, Anda harus menghancurkan fiksi itu sepenuhnya, oleh karena batin yang tua adalah batin yang takut, yang ambisius, yang takut mati, takut hidup, dan takut berhubungan; dan batin seperti itu terus-menerus, sadar atau tidak sadar, mencari sesuatu yang abadi, mencari rasa aman.


~ J. Krishnamurti

Bebas Sejak Awal




Jika kita bisa memahami dorongan di balik keinginan kita untuk menguasai atau dikuasai, maka mungkin kita bisa bebas dari efek memasung dari otoritas. Kita ingin merasa pasti, merasa benar, memperoleh sukses, mengetahui; dan keinginan akan kepastian ini, akan keabadian, di dalam diri kita membangun otoritas pengalaman pribadi, sementara di luar membangun otoritas masyarakat, keluarga, agama, dan sebagainya.
Tetapi sekadar mengabaikan otoritas saja, membuang simbol-simbol lahiriahnya saja, sangat sedikit maknanya.
Melepaskan diri dari suatu tradisi dan memeluk tradisi lain, meninggalkan pemimpin ini dan mengikuti pemimpin itu, adalah suatu perilaku yang dangkal. Jika kita ingin menyadari seluruh proses otoritas, jika kita ingin melihat sifatnya yang tertuju ke dalam, jika kita ingin memahami dan mengatasi keinginan akan kepastian, maka kita harus memiliki kesadaran dan pencerahan yang luas; kita harus bebas, bukan pada akhir, melainkan sejak awal.


~ J. Krishnamurti

Sunday, January 11, 2015

APAKAH AGAMA ITU KEPERCAYAAN ?


Agama seperti yang kita ketahui atau akui secara umum, adalah kumpulan kepercayaan, dogma, ritual, takhyul, pemujaan patung, jimat dan guru yang akan menuntun Anda kepada apa yang Anda inginkan sebagai tujuan terakhir. Kebenaran terakhir adalah proyeksi pikiran Anda, ini adalah yang Anda inginkan, yang akan membuat Anda berbahagia, yang akan memberi jaminan akan kehidupan kekal. Demikianlah batin yang terperangkap dalam semua ini menciptakan agama, agama dogma, kependetaan, takhyul dan pemujaan berhala—dan di situ Anda terperangkap, dan batin Anda mandek. Apakah itu bisa disebut agama? Apakah agama itu soal kepercayaan, soal pengetahuan tentang pengalaman dan kata-kata orang lain? Atau apakah agama itu sekadar mengikuti suatu moralitas? Anda tahu, bersikap moralis itu relatif mudah—melakukan ini dan tidak melakukan itu. Karena mudah, Anda dapat meniru suatu sistem moral. Di balik moralitas itu mendekam sang diri, tumbuh, meluas, agresif, mendominasi. Tetapi apakah itu yang disebut agama?
Anda harus menemukan apa itu kebenaran, karena itulah satu-satunya yang penting, bukan apakah Anda kaya atau miskin, bukan apakah Anda berbahagia dengan keluarga dan anak-anak Anda, karena semua itu akan berakhir, selalu berakhir dengan kematian. Maka, tanpa suatu bentuk kepercayaan apa pun, Anda harus menemukan; Anda harus memiliki semangat, percaya-diri, inisiatif, sehingga bagi Anda sendiri Anda tahu apa itu kebenaran, apa itu Tuhan. Kepercayaan tidak akan memberi apa-apa kepada Anda; kepercayaan hanya akan merusak, membelenggu, membuat gelap. Batin hanya bisa bebas melalui semangat, melalui percaya-diri.


J Krishnamurti - The Book of Life,