Kisah Intim Gay, Android, dan HIV
Posted by Muhammad Irfan on Wednesday, December 18, 2013 with No comments
Itulah kalimat yang biasa disampaikan seorang gay kepada gay lainnya. Kini pertanyaan itu terketik pada jendela aplikasi chatting di smartphone.
Top menunjukkan gay yang berperan sebagai laki-laki dalam hubungan intim, sementara bottom merujuk pada gay yang dalam hubungan itu lebih berperan sebagai perempuan.
Diam-diam, luput dari perhatian publik, teknologi informasi telah menjadi bagian dari keseharian kehidupan gay di Indonesia.
Salah satu momentumnya adalah hadirnya gadget berbasis
Android
dengan harga terjangkau. Gay bisa mengunduh beragam aplikasi chatting
yang memungkinkan satu sama lain terhubung, membina pertemanan maupun
menjalin cinta, baik cuma semalam maupun yang berkelanjutan.
Aplikasi chatting
populer di kalangan gay Indonesia antara lain Grindr dan JackD. Dalam
peringkat yang disusun App Annie, per 28 November 2013, Grindr juga
termasuk 100 besar aplikasi yang paling banyak diunduh oleh orang
Indonesia di Google Play Store. Grindr dan JackD tidak hanya bisa
dijalankan di Android, tetapi sejumlah gay juga mengakui bahwa
penggunanya baru meroket setelah tren gadget Android.
Grindr dan JackD menyasar gay secara umum. Ada pula aplikasi chatting yang secara khusus menyasar gay penyuka pria gempal dan berbulu, bernama Scruff.
Anjas adalah salah satu pengguna Grindr.
"Aku
pakai sejak semester lima," kata pria jangkung yang terdaftar di salah
satu universitas unggulan di Jakarta ini. Sekarang, Anjas sudah masuk
semester 11.
Ia mengetahui Grindr dari internet. Begitu tahu ada
aplikasi itu, Anjas langsung mengumpulkan uang sedikit demi sedikit
untuk membeli gadget dengan sistem operasi Android.
"Emang sengaja beli Android biar bisa pakai aplikasi itu," ujarnya saat ditemui Kompas.com di sebuah kedai kopi di Plaza Semanggi, Jakarta, Selasa (26/11/2013).
Sementara itu, Iqbal, mahasiswa teknik di salah satu universitas ternama di Yogyakarta, memakai JackD.
"Baru sebulan pakai," cetus Iqbal.
Iqbal sendiri mengetahui adanya aplikasi tersebut dari teman sesama gay di kampusnya.
Dengan JackD, Iqbal bisa chatting di mana saja. Ia bisa mengaktifkan aplikasi itu, mulai dari kamar kos hingga kampusnya.
Aplikasi-aplikasi
untuk kebutuhan khusus komunitas gay itu punya fitur "ajaib". Aplikasi
yang berbasis lokasi ini berfungsi seperti radar gay.
Cukup
mengunduh dan mendaftar, pengguna bisa melihat profil-profil gay, mulai
dari yang tinggal di radius kurang dari 1 km, bahkan mungkin satu tempat
kos, hingga yang berada nun jauh di seberang lautan.
Gay yang menggunakannya bisa menyaring profil yang akan dilihat. Misalnya, penyuka brondong alias remaja gay, bisa memilih kategori "Twink" saja.
Di JackD, gay juga bisa meminta aplikasi untuk "menjodohkan". Lewat fitur Match Finder,
JackD akan menawarkan beberapa profil pengguna lain. Bila setelah
melihat profil seorang pengguna menyukai, dia tinggal tekan
"Interested". Bila pengguna lain yang disukai juga menekan tombol yang
sama, berjodohlah keduanya.
Dengan JackD dan Grindr, bukan tak
mungkin seorang gay dari luar negeri secara khusus datang untuk bertemu
orang yang disukainya di Indonesia.
Kelahiran JackD mencerminkan betapa perkembangan teknologi memengaruhi kalangan gay, mulai dari personal computer (PC), internet, piranti mobile seperti smartphone hingga sistem operasi.
Dahulu,
para gay Jakarta, misalnya, harus berkumpul langsung di Lapangan
Banteng atau diskotik. Alternatif lain, perkenalan antar-gay harus
dilakukan lewat majalah seperti Gaya Nusantara yang dipelopori aktivis gay kawakan, Dede Oetomo.
Seiring masuknya internet, mulai tersedia aplikasi chatting di PC bernama mIRC. Ada salah satu channel yang khusus digunakan bagi gay Indonesia untuk berinteraksi.
Media sosial, seperti Friendster, Facebook, dan Twitter kemudian muncul. Selain media sosial mainstream,
media sosial khusus gay juga mulai bermunculan dan digunakan. Salah
satunya adalah Manjam, situs yang kini diblokir oleh pemerintah.
Media
sosial menjadi salah satu momentum penting karena memudahkan gay
melihat profil gay lain secara lebih rinci dan berbagi foto.
Lazimnya para gay saat chatting bertanya, "pic-mu mana?". Jawabannya adalah link media sosial yang dimiliki seorang gay.
Pada akhirnya, muncul smartphone dan tablet yang menjadi alternatif sekaligus menjawab keterbatasan PC yang sulit untuk mobile.
Smartphone
ibarat kantong yang bisa menampung semua aplikasi. Facebook, Twitter,
JackD, Grindr, Whatsapp, dan ragam aplikasi yang memungkinkan satu gay
dengan yang lain terhubung, berada dalam satu genggaman, mudah dibawa ke
mana saja dan kapan saja.
Teknologi informasi menghubungkan
siapa saja tanpa batas wilayah, jender, ras, dan apa pun. Hal itu juga
berlaku di kalangan gay.
"Barrier antar-gay semakin tipis," kata Mika, gay asal Jakarta yang juga bekerja di sebuah perusahaan teknologi informasi.
Rentan
Ada banyak motivasi ketika mengunduh aplikasi tersebut.
Abi, mahasiswa lain di Yogyakarta, mengatakan, "Kalau saya cuma mau cari teman. Soalnya orang kayak kita kadang merasa sendiri."
Tujuan yang sama juga dimiliki Deni, seorang karyawan swasta di Jakarta. "Cari teman aja. Kadang sengaja saya online di kantor biar tahu ada gay yang satu kantor atau tidak," ucapnya.
Namun, sejumlah gay mengakui, motivasi yang paling umum adalah mencari pasangan untuk berhubungan intim.
"Ya pasti cari pasanganlah ya, seks, apa lagi?" cetus Anjas.
Ardi, pekerja freelance di Jakarta, juga mengakuinya. "Pasti kebanyakan cari seks, yang bilang nggak tuh cuma munafik," ujarnya tegas.
Dari Grindr, Anjas menemukan beberapa pasangan one night stand. Bila menyukai, ia akan melakukan hubungan intim bersama orang yang sama untuk kali kedua dan seterusnya.
Iqbal, meski baru sebulan memakai, sudah mendapatkan banyak pasangan seksual dari aplikasi JackD.
"Kalau sudah kebelet, ya random aja," katanya.
Sapa-menyapa dengan kata "Hai", "Stay di mana?", "Top or bottom", "Mau fun nggak?" efektif guna mendapatkan pasangan untuk berhubungan intim secara instan.
Dalam praktik seks dengan pasangan random, hubungan intim yang tak aman kerap terjadi.
Anjas
pernah mengalaminya. Dalam salah satu hubungan seksualnya, ia lupa
memastikan bahwa pasangan hubungan intimnya memakai kondom.
"Waktu itu sampai penetrasi. Dia top-nya. Pas ejakulasi, gue baru nanya kenapa enggak pakai pengaman. Gue tanya. Dia bilang udah enggak tahan lagi dan dia bilang dia sering cek," urainya.
"Gue ada pemikiran kok dia nggak pakai kondom, cuma gue percaya sama dia karena dia bilang kerja di LSM HIV/AIDS. Agak seram juga sih, tapi kalau udah high gimana dong," ujarnya.
Banyaknya
praktik hubungan intim tak aman di kalangan gay terungkap dalam
Surveilans Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) Kelompok Lelaki Seks
Lelaki (LSL) yang dilakukan Kementerian Kesehatan dan mitra pada tahun
2011.
Kelompok LSL mencakup kalangan gay. Gay dan LSL sendiri
berbeda. Gay adalah kelompok lelaki yang sudah menerima identitasnya
sebagai penyuka sesama jenis. Kelompok LSL tidak selalu gay, tetapi bisa
berhubungan dengan sesama jenis, misalnya untuk motif uang.
Berdasarkan
survei tersebut, diketahui bahwa persentase hubungan seks anal pada
gay, baik insertif (melakukan penetrasi) maupun reseptif (mengalami
penetrasi), cukup tinggi.
Dari survei di Jakarta, Semarang,
Bandung, Surabaya, dan Malang, persentase hubungan seksual reseptif
terendah adalah di Bandung (66 persen) dan tertinggi di Malang (94
persen). Untuk hubungan seks anal insertif, persentase terendah ada di
Bandung (71 persen) dan tertinggi di Semarang (99 persen).
Yang memprihatinkan, dengan tingginya persentase hubungan seks anal, jumlah pemakaian kondom masih rendah.
Secara
umum, pemakaian kondom di kalangan LSL pada hubungan seks anal reseptif
hanya 21 persen, sementara pada hubungan seks anal secara insertif
sebesar 23 persen.
Kurang dari sepertiga LSL yang konsisten menggunakan kondom pada setiap tipe pasangan seksualnya.
Pengetahuan
kalangan LSL tentang HIV/AIDS secara komprehensif juga masih rendah.
Dalam survei itu, hanya 26 persen LSL yang punya pengetahuan
komprehensif tentang HIV/AIDS.
Dengan rendahnya pengetahuan
komprehensif, berarti masih banyak LSL tidak mengetahui bagaimana cara
penularan dan pencegahan HIV/AIDS, tidak memahami bahwa ODHA tidak bisa
dibedakan dengan yang lain dan bahwa serangga tak menularkan HIV.
Di
sisi lain, survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan per September
2013 menunjukkan bahwa jumlah penderita HIV/AIDS di kalangan gay
meningkat.
"Untuk golongan LSL sekarang mencapai 9,7 persen dari
total penderita HIV/AIDS," kata Samsuridjal Djauzi, Direktur Kelompok
Pendidikan Khusus (Pokdiksus) HIV/AIDS Rumah sakit Cipto Mangunkusumo
(RSCM).
Jumlah itu memang masih tergolong kecil dibandingkan
kalangan heteroseksual yang lebih dari 40 persen. "Tetapi, peningkatan
dari kalangan LSL dan ibu rumah tangga adalah yang paling tinggi," ujar
Samsuridjal.
Data RSCM, pada tahun 2007, persentase penderita
HIV/AIDS dari kalangan LSL dibandingkan dengan penderita laki-laki
secara umum hanya 6 persen. Namun, kini jumlahnya mencapai 27 persen
dari total laki-laki.
Samsuridjal mengatakan, bila pendekatan intensif tak dilakukan pada LSL, jumlah penderita dipastikan akan terus meningkat.
Rendahnya
wawasan kesehatan dengan infeksi HIV/AIDS memang berhubungan. Namun,
bagaimana dengan keterhubungan gay lewat teknologi informasi? Apakah
peningkatan populasi gay dengan HIV/AIDS berhubungan secara langsung
dengan semakin perkembangan teknologi informasi?
Sjamsuridjal
meragukannya. "Ini adalah kasus lama yang terungkap Di samping itu, dari
statistik di Pokdiksus,termasuk LSL, sebagian besar penderita yang
datang sudah punya CD4 di bawah 200 (berarti sudah AIDS)," ungkapnya.
G
Harry Prabowo, National Program Manager Gay, Waria, Lelaki Seks Lelaki
Indonesia (GWL-INA), juga mengatakan, "Sulit untuk mengatakannya. Harus
ada scientific evidence-nya dulu."
Meski demikian, ia mengakui memang gay lebih rentan.
Hal
yang sama juga dikatakan Eny Yunihastuti, Koordinator Pelayanan Medik
dari Kelompok Studi Khusus (Pokdiksus) HIV/AIDS di RSCM.
"Kalau
teknologi informasi menempatkan LSL pada posisi yang semakin rentan
terinfeksi HIV/AIDS dengan pengetahuan yang rendah, hal itu betul. Tapi,
yang perlu dicatat juga, ini tidak hanya terjadi pada kalangan LSL
saja, tetapi semua," katanya.
Pendekatan dan toleransi
Bila
ternyata teknologi informasi membuat gay semakin rentan, haruskah
aksesnya distop, misalnya dengan memblokir sejumlah situs jejaring
sosial ataupun aplikasi bila mungkin?
Harry mengatakan,
"Teknologi informasi itu tidak bisa dibendung. Mau kita blok web atau
aplikasinya? Akhirnya ada yang lain. Jadi, tetap tidak bisa, tidak ada
gunanya," cetusnya.
Pendekatan pada kalangan gay untuk meningkatkan wawasan kesehatan terkait HIV/AIDS sebenarnya telah dilakukan.
Direktur
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian
Kesehatan Tjandra Yoga Aditama menjelaskan, kementeriannya telah
menjalin kerja sama dengan berbagai kalangan untuk menjangkau kalangan
LSL.
Kemenkes bekerja sama dengan Persatuan Keluarga Berencana
Indonesia (PKBI) dan Nahdlatul Ulama (NU) untuk menjangkau LSL. Dengan
GWL-INA, Kemenkes membentuk komunitas GWL Muda yang fokus pada kalangan
LSL 15–24 tahun.
"Bahkan, saat ini melalui dukungan Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional (KPAN) dan para mitra, ada penguatan
program untuk LSL ini dengan adanya petugas lapangan dan koordinator di
masing-masing provinsi untuk menjangkau komunitas LSL," jelasnya.
Namun demikian, pendekatan yang dilakukan dirasakan beberapa gay kurang efektif.
"Penyadaran
itu sasarannya orang-orang seperti waria atau mereka yang pekerja seks.
Tapi, bagaimana dengan kita yang sehari-hari cuma nongkrong, di kantor, di kamar, orang-orang biasa, tidak tersentuh," ungkap Mika.
Boy, seorang gay asal Jakarta yang baru coming out, menuturkan bahwa pendekatan yang dilakukan selama ini tidak efektif.
"Kalau judulnya sudah penyuluhan itu biasanya sudah ada penolakan terlebih dahulu," katanya.
Harry mengakuinya.
"Memang selama ini masih terbatas. Yang sudah kita jangkau selama ini memang baru yang ada di hotspot," ungkapnya.
Harry menuturkan, teknologi informasi sebenarnya bisa menjadi senjata dalam mengampanyekan kesadaran tentang HIV/AIDS.
"Karena sekarang eranya teknologi informasi, maka pendekatan seharusnya juga harus in line dengan teknologi informasi.”
Untuk
ini, sudah ada jejaring sosial milik Kementerian Kesehatan dan sejumlah
LSM, situs web terkait HIV/AIDS, bahkan aplikasi yang menyuguhkan
informasi tentang HIV/AIDS.
Namun, pendekatan lewat teknologi informasi menyisakan tantangan.
"Sulit bagi kita kalau harus menyaingi Grindr," ungkap Harry.
Akun
Facebook, Twitter, forum dan situs web yang mengampanyekan tentang
HIV/AIDS bertebaran namun sedikit dibuka, diikuti, apalagi dibaca.
Lebih
lanjut, Harry mengungkapkan, Indonesia minim figur publik seperti artis
serta seorang spesialis dalam bidang komunikasi yang dapat mendukung
program penyadaran lewat teknologi informasi.
"Mereka yang ada di advertising,
media sosial, yang bahkan ada yang gay, kurang peduli dengan HIV/AIDS.
Sulit mengajak untuk berkarya dengan tujuan sosial," jelasnya.
Di samping pendekatan langsung pada gay, perlu juga menghilangkan hambatan lingkungan.
"Selama
ini, gay berhadapan dengan stigma. Mengapa gay tidak mau tes HIV karena
takut akan dua stigma, bahwa dia HIV dan juga gay," kata Harry.
Karena
itu, perlu dikembangkan toleransi terhadap kaum gay. Kaum gay tidak
bisa dianggap sebagai orang menyimpang, berdosa, dan pantas menderita
HIV.
Samsuridjal mengatakan, toleransi pada gay mulai dikembangkan. Di RSCM, kini ada Male Sex Male (MSM) Service.
"Agar gay tidak canggung lagi untuk tes, kita kembangkan layanan yang ramah pada LSL," katanya.
Lebih
luas, Alan, Koordinator Program Kaum Muda GWL-INA, menjelaskan perlunya
pendidikan seksual yang komprehensif, termasuk mengenalkan jender dan
seksualitas di kalangan remaja.
"Ini sangat bermanfaat bagi kaum
muda. Selama ini gay biasanya mengakses informasi dari web atau buku,
tapi itu menyatakan bahwa gay itu dosa. Akibatnya, mereka self stigma,
tidak mau berkumpul dengan komunitas, tidak punya informasi, akhirnya
malah terjerumus pada perilaku berisiko," jelasnya.
Tapi, kata
Alan, tidak mudah untuk memasukkan isu seksualitas di sekolah walaupun
bisa dikaitkan dengan pelajaran seperti Biologi.
Di tengah semua tantangan, toh masih ada kampanye kecil yang bisa dilakukan oleh kalangan gay sendiri. Setelah bertanya "Kamu top atau bottom" dan setuju untuk berkencan, ketiklah, misalnya, "No bareback ya..." Artinya, hubungan intim dilakukan dengan kondom.
Catatan :
Homoseksualitas
masih menjadi isu sensitif di Indonesia. Gay berpotensi mendapatkan
diskriminasi di lingkungan rumah hingga tempat kerja. Kompas.com
memutuskan untuk menyamarkan nama semua narasumber gay dalam tulisan
ini.
@http://sains.kompas.com/
Categories: DUNIA LELAKI, HEALTH
0 comments:
Post a Comment