Bagaimana Cara Australia Sadap Ponsel Petinggi RI?
Posted by Muhammad Irfan on Thursday, November 21, 2013 with 2 comments
Sepekan terakhir, Indonesia digemparkan berita penyadapan saluran
telepon seluler sejumlah petinggi RI oleh intelijen Australia pada tahun
2009. Kabar itu menyebar sejak media massa internasional menulis
rahasia yang dibocorkan Edward Snowden.
Ini tentu bukan aksi
intelijen sembarangan. Dari data tersebut, diketahui intelijen Australia
berhasil menyadap telepon seluler Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
beserta istri, Wapres Boediono, mantan Wapres Jusuf Kalla, Jubir
Presiden Dino Patti Djalal, Andi Malaranggeng, Sekretaris Negara Hatta
Rajasa, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menko Polkam Widodo Adi
Sucipto, dan Menteri BUMN Sofyan Djalil.
Tak pelak, hubungan
diplomatik Indonesia-Australia yang tadinya hangat kini menjadi panas.
Tak hanya memanggil pulang Duta Besar RI untuk Australia, Nadjib Riphat
Kesoema, dari Canberra, Presiden SBY juga meminta penjelasan dan
permohonan maaf dari pemerintah Australia.
Tapi, alih-alih
meminta maaf, Perdana Menteri Australia Tony Abbott malah mendukung apa
pun yang sudah dilakukan pemerintahan sebelumnya, dan saat ini terus
mengumpulkan informasi demi kepentingan nasional Australia. Bukannya
reda, hubungan antara kedua negara malah tambah renggang.
Bagaimana
modus intelijen Australia memata-matai aktivitas para petinggi RI masih
menjadi teka-teki sampai detik ini. Faktanya, berdasarkan dokumen yang
dibocorkan Snowden, aksi intelijen Negeri Kanguru itu dilakukan pada
tahun 2009 dengan menyadap telepon seluler. Namun, tidak dijelaskan
dengan teknologi apa, bagaimana caranya, atau bekerja sama dengan pihak
mana. Semuanya masih misterius.
Skema penyadapan
Dengan
perkembangan teknologi yang ada saat ini, penyadapan bisa dilakukan
dengan berbagai cara, baik dengan peranti lunak maupun peranti keras.
Menurut Nonot Harsono, Anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia
(BRTI), penyadapan ponsel bisa dilakukan hanya dengan me-remote.
Salah
satu skema konvensional penyadapan ponsel adalah dengan menaruh BTS
kamuflase di sekitar ponsel korban. "Misalnya, menggunakan BTS palsu
dalam bentuk koper atau dalam bentuk yang tidak terduga. Biasanya
digunakan aparat hukum untuk memburu target operandinya," kata Nonot
pada VIVAnews, dua hari lalu.
Jika BTS kamuflase itu
menyala, cara kerjanya sederhana. Dia menjelaskan, ponsel yang
mengirimkan gelombang radio menuju BTS di sekitarnya. Dan, BTS palsu
juga akan menangkap gelombang radio tersebut tanpa sepengetahuan
pengguna, kemudian menerima informasi percakapan di ponsel.
Skema
lain, melalui alat sadap yang dipasang oleh operator telekomunikasi.
Tiap-tiap operator seluler, tutur Nonot, mempunyai alat penyadapan atau
alat perekam yang dipasangkan di dalam jaringannya. "Ini demi penegakan
hukum. Tapi, mereka hanya diperbolehkan membukanya apabila diminta oleh
penegak hukum," terangnya.
Berbicara skema yang lebih canggih,
penyadapan bisa dilakukan hanya dengan menggunakan peranti lunak.
Menurutnya, praktik penyadapan oleh intelijen asing tentu sangat rapi
dan rahasia, banyak yang tidak menyadarinya. Pelaku aksi intelijen bisa
menyusup dengan menyewa bandwidth ke operator tertentu dengan
berpura-pura menjadi penyelenggara jasa Internet (Internet Service Provider/ISP) kemudian membuka jaringan virtual ke pusat intelijen.
Namun,
Nonot enggan menduga-duga skenario mana yang ditempuh oleh intelijen
Australia untuk menyadap saluran telepon seluler milik para petinggi RI.
Alat sadap Densus 88?
Beda halnya
dengan Nonot yang mengulik isu penyadapan dari perspektif teknologi
informasi, Indonesia Police Watch (IPW) mencurigai alat penyadapan oleh
Australia melalui alat-alat bantu sadap bantuan dari pemerintah
Australia yang diberikan pada Datasemen Khusus (Densus) 88.
IPW
mendesak Polri segera mengevaluasi berbagai peralatan, khususnya
alat-alat sadap bantuan dari Negeri Kanguru itu. "Sebab, bukan mustahil
lewat bantuan alat sadap buat Densus 88 antiteror ini, intelijen
Australia menyadap komunikasi pejabat Indonesia," kata Ketua Presidium
IPW, Neta S Pane, Rabu 20 November 2013.
"Jika terbukti
penyadapan lewat alat sadap bantuan itu, berarti sudah waktunya semua
alat tersebut diblokir, dinonaktifkan dan tidak perlu difungsikan lagi,"
jelasnya.
Kalaupun tidak terbukti, pemerintah diimbaunya agar
tetap waspada. Kenapa intelijen Australia dan negara asing lainnya
terlalu mudah menyadap para pejabat Indonesia.
Sementara itu,
pada kesempatan berbeda, Panglima Tentara Nasional Indonesia (TNI)
Jenderal Moeldoko mengatakan, pihaknya akan memperkuat sistem enkripsi
negara guna mengantisipasi penyadapan negara asing, khususnya Australia
dan Amerika Serikat.
Pria yang sebelumnya menjabat Kepala Staf
TNI AD itu mengaku akan mengembangkan enkripsi bersama Lembaga Sandi
Negara supaya para petinggi negara tidak gampang disadap oleh pihak
asing. "Untuk kontrainformasi, kami tengah mengembangkan enkripsi yang
akan kita buat sendiri," terang Moeldoko pada wartawan di Markas Komando
Badan Intelijen Strategis, Jakarta.
Kemarin pagi, Moeldoko telah
memberikan arahan kepada para intelijen TNI AD, AL, AU beserta
atase-atase pertahanan Indonesia guna mengantisipasi penyadapan dari
pihak asing. "Kita beranalogi dengan negara-negara lain. Penyadapan
tidak hanya kepada Indonesia, tetapi juga terjadi kepada negara-negara
lain. Penyadapan itu syarat teknologi. Kita harus siap," ucapnya.
Kemungkinan BTS palsu
Spekulasi
pun muncul. Operator telekomunikasi dituding memfasilitasi intelijen
Australia untuk menyadap ponsel Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono dan
sejumlah menteri di era 2009. Sebagaimana dilaporkan laman The Guardian
dan Sydney Morning Herald, ada empat operator telekomunikasi yang
disebutkan di dalam dokumen penyadapan, yaitu Telkomsel, XL, Indosat,
dan Hutchison (3).
Namun, spekulasi ini langsung buru-buru
dibantah. "Nggak benar. Urusan penyadapan kami patuh pada hukum. Kami
ikuti arahan penegak hukum, karena mereka yang berhak," bantah Ivan
Cahya Permana, VP Technology and System Telkomsel, saat dikonfirmasi VIVAnews, Selasa 19 November 2013.
Dia
menjelaskan, secara teknis, Telkomsel dan operator telekomunikasi pada
umumnya mempunyai standar keamanan jaringan sesuai persyaratan
internasional.
Namun demikian, Ivan mengakui, masih ada masalah
dengan kepemilikan alat penyadapan, yaitu perangkat ini bisa dimiliki
oleh kalangan di luar penegak hukum.
"Problemnya, tak ada aturan
yang mengatakan perangkat itu hanya boleh dimiliki penegak hukum saja.
Jadi, kalau Anda punya uang cukup, Anda bisa beli perangkat itu.
Harganya 50 miliar rupiah. Memang mahal, makanya terbatas. Kepolisian
pun nggak punya banyak," jelas Ivan Permana.
Namun, untuk kasus
penyadapan Presiden RI dan sejumlah menteri, Ivan enggan menuding
intelijen Australia telah membeli perangkat tersebut. Karena,
kemungkinannya masih cukup luas. Menurut Ivan, intelijen Australia dapat
memanfaatkan BTS palsu untuk menyadap informasi dari ponsel.
"Alat
sadap itu dapat menyaru jadi BTS milik operator, karena itu dipercaya
oleh ponselnya, nah ponsel meresponsnya ke alat itu," jelas Ivan.
Senada
dengan Telkomsel, Indra Utoyo, Direktur Inovasi dan Strategi Portofolio
Telkom yakin tidak ada operator telekomunikasi di Indonesia yang
terlibat dalam upaya penyadapan yang membuat hubungan
Indonesia-Australia makin panas.
"Untuk penyadapan, kami sudah
ikut aturan yang ditetapkan pemerintah. Mungkin mereka (Australia)
mempunyai hal yang melampaui aturan kita. Ini di luar domain kami," ujar Indra, saat dijumpai VIVAnews di Jakarta, Rabu 20 November 2013.
"Ini
menjadi pembelajaran untuk semua pihak ke depan untuk memperbaiki dan
meningkatkan layanan di era digital bahwa keamanan dan privasi itu
sangat penting," ujar dia.
Penyadapan = ilegal
Menanggapi
isu penyadapan ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika
(Kemenkominfo) pun turut bicara. Sejauh ini, Kepala Pusat Informasi dan
Humas Kominfo Gatot S Dewa Broto mengatakan penyadapan itu belum
terbukti dilakukan lewat kerja sama dengan penyelenggara telekomunikasi
di Indonesia.
"Jika terbukti ada yang main mata di kemudian hari,
maka penyeleggara telekomunikasi yang bersangkutan dapat dikenai pidana
yang diatur dalam UU Tekomunikasi dan UU ITE," kata dia.
Gatot
memaparkan, penyadapan bertentangan dengan UU No 36/1999 tentang
Telekomunikasi dan UU No 11/2008 tentang ITE. "Pada pasal 40 dalam UU
Telekomunikasi, setiap orang secara tegas dilarang melakukan kegiatan
penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan
telekomunikasi dalam bentuk apapun," paparnya.
Menurutnya,
Kominfo tidak pernah memberikan sertifikasi perangkat sadap terkecuali
yang digunakan oleh lembaga penegak hukum yang disebutkan pada Pasal 40
UU Telekomunikasi dan Pasal 31 UU ITE.
"Kami tidak pernah mengeluarkan sertifikat untuk perangkat anti sadap. Karena itu ilegal," ujar Gatot.
http://teknologi.news.viva.co.id/
tehknologi semakin canggih, sadap menyadap juga canggih..
ReplyDeleteAustralia memang tetangga yg patut diwaspadai, dan juga sebaiknya Pemerintah harus mengabil alih provider besar di Indonesia Seperti Telkomsel & Indosat, karena operator selular Indonesia kebanyakan dimiki oleh pihak asing , dan sebagaian besar saham kepemilikan dimiliki oleh asing, seperti PT.XL Axiata , AXIS dan 3 itu yg dimiliki pihak asing.
Delete