Ateisme
Posted by Muhammad Irfan on Friday, November 02, 2012 with No comments
Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.
Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (átheos), yang secara peyoratif
digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan
dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan
menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah,
dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk
merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Orang yang
pertama kali mengaku sebagai "ateis" muncul pada abad ke-18. Pada zaman
sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala
11,9% mengaku sebagai nonteis.Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia. Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).
Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal
karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen dengan
dasar filosofis, sosial, atau sejarah.
Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius).Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah 'Tuhan' dalam berbagai upacara ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana. Karenanya agama ini sering disebut agama ateistik. Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme, rasionalisme, dan naturalisme tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.
Asal istilah
Pada zaman Yunani Kuno, kata sifat atheos (ἄθεος, berasal dari awalan ἀ- + θεός
"tuhan") berarti "tak bertuhan". Kata ini mulai merujuk pada penolakan
tuhan yang disengajakan dan aktif pada abad ke-5 SM, dengan definisi
"memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa" atau "menolak tuhan/dewa".
Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-kadang menerjemahkan atheos sebagai "ateistik". Sebagai nomina abstrak, terdapat pula ἀθεότης (atheotēs), yang berarti "ateisme". Cicero mentransliterasi kata Yunani tersebut ke dalam bahasa Latin atheos. Istilah ini sering digunakan pada perdebatan antara umat Kristen awal
dengan para pengikut agama Yunani Kuno (Helenis), yang mana
masing-masing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai ateis secara
peyoratif.
Ateisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada "kepercayaan
tersendiri" pada akhir abad ke-18 di Eropa, utamanya merujuk pada
ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis. Pada abad ke-20, globalisasi
memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada "ketidakpercayaan
pada semua tuhan/dewa", walaupun adalah masih umum untuk merujuk ateisme
sebagai "ketidakpercayaan pada Tuhan (monoteis)"Akhir-akhir ini, terdapat suatu desakan di dalam kelompok filosofi tertentu untuk mendefinisikan ulang ateisme
sebagai "ketiadaan kepercayaan pada dewa/dewi", daripada ateisme
sebagai kepercayaan itu sendiri. Definisi ini sangat populer di antara
komunitas ateis, walaupun penggunaannya masih sangat terbatas
Definisi dan pembedaan
Para penulis berbeda-beda dalam mendefinisikan dan mengklasifikasi ateisme,
yakni apakah ateisme merupakan suatu kepercayaan tersendiri ataukah
hanyalah ketiadaan pada kepercayaan, dan apakah ateisme memerlukan
penolakan yang secara sadar dan eksplisit dilakukan. Berbagai kategori
telah diajukan untuk mencoba membedakan jenis-jenis bentuk ateisme.
Ruang lingkup
Beberapa ambiguitas dan kontroversi yang terlibat dalam pendefinisian ateisme terletak pada sulitnya mencapai konsensus dalam mendefinisikan kata-kata seperti dewa dan tuhan. Pluralitas dalam konsep ketuhanan dan dewa menyebabkan perbedaan pemikiran akan penerapan kata ateisme. Dalam konteks teisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada Tuhan
monoteis, orang-orang yang percaya pada dewa-dewi lainnya akan
diklasifikasikan sebagai ateis. Sebaliknya pula, orang-orang Romawi kuno
juga menuduh umat Kristen sebagai ateis karena tidak menyembah
dewa-dewi paganisme. Pada abad ke-20, pandangan ini mulai ditinggalkan seiring dengan dianggapnya teisme meliputi keseluruhan kepercayaan pada dewa/tuhan.
Bergantung pada apa yang para ateis tolak, penolakan ateisme dapat
berkisar dari penolakan akan keberadaan tuhan/dewa sampai dengan
keberadaan konsep-konsep spiritual dan paranormal seperti yang ada pada agama Hindu dan Buddha.
Implisit dan eksplisit
Definisi ateisme juga bervariasi dalam halnya sejauh mana seseorang
harus mengambil posisi mengenai gagasan keberadaan tuhan untuk dianggap
sebagai ateis. Ateisme kadang-kadang didefinisikan secara luas untuk
meliputi ketiadaan kepercayaan akan keberadaan tuhan/dewa. Definisi yang
luas ini akan memasukkan orang-orang yang tidak memiliki konsep teisme
sebagai ateis.
Pada tahun 1772, Baron d'Holbach mengatakan bahwa "Semua anak-anak dilahirkan sebagai ateis, karena mereka tidak tahu akan Tuhan." George H. Smith
(1979) juga menyugestikan bahwa: "Orang yang tidak kenal dengan teisme
adalah ateis karena ia tidak percaya pada tuhan. Kategori ini juga akan
memasukkan anak dengan kapasitas konseptual untuk mengerti isu-isu yang
terlibat, tapi masih tidak sadar akan isu-isu tersebut (sebagai ateis). Fakta bahwa anak ini tidak percaya pada tuhan membuatnya pantas disebut ateis." Smith menciptakan istilah ateisme implisit untuk merujuk pada "ketiadaan kepercayaan teistik tanpa penolakan yang secara sadar dilakukan" dan ateisme eksplisit untuk merujuk pada definisi ketidakpercayaan yang dilakukan secara sadar.
Dalam kebudayaan Barat, pandangan bahwa anak-anak dilahirkan sebagai
ateis merupakan pemikiran yang baru. Sebelum abad ke-18, keberadaan
Tuhan diterima secara sangat luas sedemikiannya keberadaan ateisme yang
benar-benar tidak percaya akan Tuhan itu dipertanyakan keberadaannya.
Hal ini disebut theistic innatism (pembawaan lahir teistik),
yakni suatu nosi bahwa semua orang percaya pada Tuhan dari lahir.
Pandangan ini memiliki konotasi bahwa para ateis hanyalah menyangkal
diri sendiri.
Terdapat pula sebuah posisi yang mengklaim bahwa ateis akan dengan
cepat percaya pada Tuhan pada saat krisis, bahwa ateis percaya pada
tuhan pada saat meninggal dunia, ataupun bahwa "tidak ada ateis dalam lubang perlindungan perang (no atheists in foxholes)." Beberapa pendukung pandangan ini mengklaim bahwa keuntungan
antropologis agama membuat manusia dapat mengatasi keadaan susah lebih
baik. Beberapa ateis menitikberatkan fakta bahwa terdapat banyak contoh
yang membuktikan sebaliknya, di antaranya contoh-contoh "ateis yang
benar-benar berada di lubang perlindungan perang."
Kuat dan lemah
Para filsuf seperti Antony Flew, Michael Martin, dan William L. Rowe
membedakan antara ateisme kuat (positif) dengan ateisme lemah
(negatif). Ateisme kuat adalah penegasan bahwa tuhan tidak ada,
sedangkan ateisme lemah meliputi seluruh bentuk ajaran nonteisme
lainnya. Menurut kategorisasi ini, siapapun yang bukan teis dapatlah
ateis yang lemah ataupun kuat. Istilah lemah dan kuat ini merupakan istilah baru; namun istilah yang setara seperti ateisme negatif dan ositif telah digunakan dalam berbagai literatur-literatur filosofi dan apologetika Katolik (dalam artian yang sedikit berbeda). Menggunakan batasan ateisme ini, kebanyakan agnostik adalah ateis lemah.
Manakala Martin, menegaskan bahwa agnostisisme memiliki bawaan ateisme lemah,
kebanyakan agnostik memandang pandangan mereka berbeda dari ateisme,
yang mereka liat ateisme sama saja tidak benarnya dengan teisme Ketidaktercapaian pengetahuan yang diperlukan untuk membuktikan atau
membantah keberadaan tuhan/dewa kadang-kadang dilihat sebagai indikasi
bahwa ateisme memerlukan sebuah lompatan kepercayaan. Respon ateis terhadap argumen ini adalah bahwa dalil-dalil keagamaan
yang tak terbukti seharusnyalah pantas mendapatkan ketidakpercayaan
yang sama sebagaimana ketidakpercayaan pada dalil-dalil tak terbukti lainnya,
dan bahwa ketidakterbuktian keberadaan tuhan tidak mengimplikasikan
bahwa probabilitas keberadaan tuhan sama dengan probabilitas ketiadaan
tuhan. Filsuf Skotlandia J. J. C. Smart
bahkan berargumen bahwa "kadang-kadang seseorang yang benar-benar ateis
dapat menyebut dirinya sebagai seorang agnostik karena generalisasi skeptisisme filosofis
tak beralasan yang akan menghalangi kita dari berkata kita tahu apapun,
kecuali mungkin kebenaran matematika dan logika formal." Karenanya, beberapa penulis ateis populer seperti Richard Dawkins memilih untuk membedakan posisi teis, agnostik, dan ateis sebagai spektrum probabilitas terhadap pernyataan "Tuhan ada" (spektrum probabilitas teistik).
Dasar pemikiran
Batasan dasar pemikiran ateistik yang paling luas adalah antara
ateisme praktis dengan ateisme teoretis. Bentuk-bentuk ateisme teoretis
yang berbeda-beda berasal dari argumen filosofis dan dasar pemikiran
yang berbeda-beda pula. Sebaliknya, ateisme praktis tidaklah memerlukan
argumen yang spesifik dan dapat meliputi pengabaian dan ketidaktahuan
akan pemikiran tentang tuhan/dewa.
Ateisme praktis
Dalam ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai apateisme,
individu hidup tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa
menggunakan alasan paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan tuhan
tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai tidak penting dan tidak
berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun
memengaruhi kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalisme metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh menerima atau memercayainya."
Ateisme praktis dapat berupa:
- Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan lainnya;
- Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran intelek dan tindakan praktis;
- Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan tuhan dan agama; dan
- Ketidaktahuan akan konsep tuhan dan dewa.
Ateisme teoretis
Ateisme teoretis secara eksplisit memberikan argumen menentang
keberadaan tuhan, dan secara aktif merespon kepada argumen teistik
mengenai keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen dari rancangan dan taruhan Pascal.
Terdapat berbagai alasan-alasan teoretis untuk menolak keberadaan
tuhan, utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan epistemologis. Selain
itu terdapat pula alasan psikologis dan sosiologis.
Argumen epistemologis dan ontologis
Ateisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui Tuhan ataupun menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme adalah agnostisisme. Dalam filosofi imanensi, ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, termasuk pula pikiran seseorang, dan kesadaran tiap-tiap orang terkunci pada subjek.
Menurut bentuk agnostisisme ini, keterbatasan pada perspektif ini
menghalangi kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan pada tuhan
dan keberadaannya. Agnostisisme rasionalistik Kant dan Pencerahan
hanya menerima ilmu yang dideduksi dari rasionalitas manusia. Bentuk
ateisme ini memiliki posisi bahwa tuhan tidak dapat dilihat sebagai
suatu materi secara prinsipnya, sehingga tidak dapat diketahui apakah ia
ada atau tidak. Skeptisisme, yang didasarkan pada pemikiran Hume,
menegaskan bahwa kepastian akan segala sesuatunya adalah tidak mungkin,
sehingga seseorang tidak akan pernah mengetahui keberadaan tentang
Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap ateisme adalah dipertentangkan; ia
juga dapat dianggap sebagai pandangan dunia dasar yang independen.
Argumen lainnya yang mendukung ateisme yang dapat diklasifikasikan sebagai epistemologis ataupun ontologis meliputi positivisme logis dan ignostisisme,
yang menegaskan ketidakberartian ataupun ketidakterpahaman
istilah-istilah dasar seperti "Tuhan" dan pernyataan seperti "Tuhan
adalah mahakuasa." Nonkognitivisme teologis
memiliki posisi bahwa pernyataan "Tuhan ada" bukanlah suatu dalil,
namun adalah omong kosong ataupun secara kognitif tidak berarti.
Argumen metafisika
Informasi lebih lanjut: [[Monisme, Fisikalisme]]
Ateisme metafisik didasarkan pada monisme
metafisika, yakni pandangan bahwa realitas adalah homogen dan tidak
dapat dibagi. Ateis metafisik absolut termasuk ke dalam beberapa bentuk fisikalisme,
sehingga secara eksplisit menolak keberadaan makhluk-makhluk halus.
Ateis metafisik relatif menolak secara implisit konsep-konsep ketuhanan
tertentu didasarkan pada ketidakkongruenan antara filosofi dasar mereka
dengan sifat-sifat yang biasanya ditujukan kepada tuhan, misalnya transendensi, sifat-sifat personal, dan keesaan tuhan. Contoh-contoh ateisme metafisik relatif meliputi panteisme, panenteisme, dan deisme.
Argumen psikologis, sosiologis, dan ekonomi
Para filsuf seperti Ludwig Feuerbach dan Sigmund Freud
berargumen bahwa Tuhan dan kepercayaan keagamaan lainnya hanyalah
ciptaan manusia, yang diciptakan untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan
psikologis dan emosi manusia. Hal ini juga merupakan pandangan banyak Buddhis. Karl Marx dan Friedrich Engels,
dipengaruhi oleh karya Feuerbach, berargumen bahwa kepercayaan pada
Tuhan dan agama adalah fungsi sosial, yang digunakan oleh penguasa untuk
menekan kelas pekerja. Menurut Mikhail Bakunin,
"pemikiran akan Tuhan mengimplikasikan turunnya derajat akal manusia
dan keadilan; ia merupakan negasi kebebasan manusia yang paling tegas,
dan seperlunya akan berakhir pada perbudakan umat manusia, dalam teori
dan prakteknya." Ia membalikkan aforisme Voltaire
yang terkenal yang berbunyi jika "Tuhan tidak ada, maka adalah perlu
untuk menciptakanNya", dengan menulis: "Jika Tuhan benar-benar ada, maka
adalah perlu untuk menghapusnya."
Argumen logis dan berdasarkan bukti
Ateisme logis memiliki posisi bahwa berbagai konsep ketuhanan,
seperti tuhan personal dalam kekristenan, dianggap secara logis tidak
konsisten. Para ateis ini memberikan argumen deduktif yang menentang
keberadaan Tuhan, yang menegaskan ketidakcocokan antara sifat-sifat
tertentu Tuhan, misalnya kesempurnaan, status pencipta, kekekalan,
kemahakuasaan, kemahatahuan, kemahabelaskasihan, transendensi,
kemahaadilan, dan kemahapengampunan Tuhan.
Ateis teodisi
percaya bahwa dunia ini tidak dapat dicocokkan dengan sifat-sifat yang
terdapat pada Tuhan dan dewa-dewi sebagaimana yang diberikan oleh para
teolog. Mereka berargumen bahwa kemahatahuan, kemahakuasaan, dan
kemahabelaskasihan Tuhan tidaklah cocok dengan dunia yang penuh dengan kejahatan dan penderitaan, dan belas kasih tuhan/dewa adalah tidak dapat dilihat oleh banyak orang. Argumen yang sama juga diberikan oleh Siddhartha Gautama, pendiri Agama Buddha.
Argumen antroposentris
Informasi lebih lanjut: [[Antropologi filosofis, Humanisme]]
Ateisme aksiologis atau konstruktif menolak keberadaan tuhan, dan sebaliknya menerima keberadaan "kemutlakan yang lebih tinggi" seperti kemanusiaan.
Ateisme dalam bentuk ini menganggap kemanusiaan sebagai sumber mutlak
etika dan nilai-nilai, dan mengizinkan individu untuk menyelesaikan
permasalahan moral tanpa bergantung pada Tuhan. Marx, Nietzsche, Freud,
dan Sartre semuanya menggunakan argumen ini untuk menyebarkan
pesar-pesan kebebasan, Übermensch, dan kebahagiaan tanpa kekangan.
Salah satu kritik yang paling umum terhadap ateisme adalah bahwa menolak keberadaan Tuhan akan membawa pada relativisme moral, menyebabkan seseorang tidak bermoral ataupun tidak memiliki dasar etika, atau membuat hidup tidak berarti dan menyedihkan. Blaise Pascal memaparkan argumen ini pada tahun 1669.
Demografi
Adalah sulit untuk menghitung jumlah ateis di dunia. Para responden
survei dapat mendefinisikan "ateisme" secara berbeda-beda ataupun
menarik garis batas yang berbeda antara ateisme, kepercayaan non-religius, dan kepercayaan religius non-teis dan spiritual. Selain itu, masyarakat di beberapa belahan dunia enggan melaporkan dirinya sebagai ateis untuk menghindari stigma sosial, diskriminasi, dan penganiayaan. Survei tahun 2005 yang dipublikasi dalam Encyclopædia Britannica
menunjukkan bahwa kelompok non-religius mencapai sekitar 11,9% populasi
dunia, dan ateis sekitar 2,3%. Jumlah ini tidak termasuk orang-orang
yang memeluk agama ateistik, seperti agama Buddha.
Survei November-Desember 2006 yang dilakukan di Amerika Serikat dan lima negara Eropa, dan dipublikasi di Financial Times
menunjukkan bahwa orang Amerika (73%) cenderung lebih percaya kepada
tuhan/dewa atau makhluk tertinggi dalam bentuk apapun daripada orang
Eropa. Di antara orang dewasa Eropa yang disurvei, orang Italia adalah
yang paling banyak percaya (62%) dan orang Perancis adalah yang paling
rendah (27%). Di Perancis, 32% mengaku dirinya sebagai ateis, dan 32%
lainnya mengaku sebagai agnostik.
Survei resmi Uni Eropa
memberikan hasil-hasil berikut: 18% populasi Uni Eropa tidak percaya
pada tuhan; 27% yakin akan keberadaan beberapa "makhluk harus atau roh",
manakala 52% percaya pada tuhan-tuhan tertentu. Proporsi orang yang
percaya naik menjadi 65% pada orang-orang yang putus sekolah pada usia
15; responden survei yang menganggap dirinya berasal dari latar belakang
keluarga yang keras juga lebih cenderung percaya pada tuhan daripada
yang merasa dirinya tumbuh di lingkungan tanpa aturan yang keras
Sebuah surat yang dipublikasi di Nature
pada tahun 1998 melaporkan sebuah survei bahwa kepercayaan pada tuhan
personal ataupun kehidupan setelah mati berada dalam posisi terendah di
antara para anggota Akademi Sains Nasional Amerika Serikat, hanya 7,0% anggota yang percaya pada tuhan personal, dibandingkan dengan lebih dari 85% masyarakat AS secara umumnya. Pada tahun yang sama pula, Frank Sulloway dari Institut Teknologi Massachusetts dan Michael Shermer dari California State University
melakukan sebuah kajian yang menemukan bahwa pada sampel survei mereka
yang terdiri dari orang dewasa AS yang "dipercayai" (12% Ph.D dan 62%
lulusan perguruan tinggi), 64%-nya percaya pada Tuhan, dan terdapat
sebuah korelasi yang mengindikasikan menurunnya tingkat kepercayaan seiring dengan meningkatnya tingkat pendidikan.
Korelasi yang berbanding terbalik antara keimanan dengan kecerdasan
juga telah ditemukan pada 39 kajian yang dilakukan antara tahun 1927
sampai dengan tahun 2002, menurut sebuah artikel dalam Majalah Mensa. Penemuan ini secara luas sesuai dengan meta-analisis statistis tahun 1958 yang dilakukan oleh Profesor Michael Argyle dari Universitas Oxford. Ia menganalisa tujuh kajian riset yang telah menginvestigasi korelasi antara sikap terhadap agama dengan pengukuran kecerdasan
pada pelajar-pelajar sekolah dan perguruan tinggi AS. Walaupun korelasi
negatif ditemukan dengan jelas, analisis ini tidak mengidentifikasi
sebab musababnya, namun menilai bahwa faktor-faktor seperti latar
belakang keluarga yang otoriter dan kelas sosial mungkin memainkan
sebagian peran penting.
Pada sensus pemerintah Australia pada tahun 2006, pada pertanyaan yang menanyakan Apakah agama anda? Dari keseluruhan populasi, 18,7% mencentang kotak tak beragama
ataupun menulis sebuah respon yang diklasifikasikan sebagai
non-religius (humanisme, agnostik, ateis). Pertanyaan ini bersifat
sukarela dan 11,2% tidak menjawab pertanyaan ini. Pada sensus Selandia Baru 2006 yang menanyakan Apakah agama anda?, 34,7% mengindikasikan tidak beragama, 12,2% tidak merespon ataupun keberatan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Ateisme, agama, dan moralitas
Walaupun orang yang mengaku sebagai ateis biasanya diasumsikan tak
beragama, beberapa sekte agama tertentu pula ada yang menolak keberadaan
dewa pencipta yang personal.[62]
Pada akhir-akhir ini, aliran-aliran keagamaan tertentu juga telah
menarik banyak penganut yang secara terbuka ateis, seperti misalnya
Yahudi ateis atau Yahudi humanis[63][64] dan Kristen ateis.[65][66][67]
Dikarenakan artian paling kaku ateisme positif tidak memerlukan
kepercayaan spesifik apapun diluar ketidakpercayaan pada dewa/tuhan,
ateis dapat memiliki kepercayaan spiritual apapun. Untuk alasan yang
sama pula, para ateis dapat berpegang pada berbagai kepercayaan etis,
mulai dari universalisme moral humanisme, yang berpandangan bahwa nilai-nilai moral haruslah diterapkan secara konsisten kepada seluruh manusia, sampai dengan nihilisme moral, yang berpendapat bahwa moralitas adalah hal yang tak berarti.
Walaupun ia merupakan kebenaran filosofis, yang secara ringkas dipaparkan dalam karya Plato dilema Euthyphro
bahwa peran tuhan dalam menentukan yang benar dari yang salah adalah
tidak diperlukan maupun adalah sewenang-wenang, argumen bahwa moralitas
haruslah diturunkan dari Tuhan dan tidak dapat ada tanpa pencipta yang
bijak telah menjadi isu-isu yang terus menerus muncul dalam debat
politik.
Persepsi moral seperti "membunuh adalah salah" dilihat sebagai hukum
Tuhan, yang memerlukan pembuat hukum dan hakim. Namun, banyak ateis yang
berargumen bahwa memperlakukan moralitas secara legalistik adalah analogi salah, dan bahwa moralitas tidak seperlunya memerlukan seorang pencipta hukum sama halnya hukum itu sendiri.
Filsuf Susan Neiman dan Julian Baggini menegaskan bahwa perilaku etis yang dilakukan hanya karena mandat Yang
Di atas bukanlah perlaku etis yang sebenarnya, melainkan hanyalah
kepatuhan buta. Baggini berargumen bahwa ateisme merupakan dasar etika
yang lebih superior, dan mengklaim bahwa dasar moral di luar perintah
agama adalah diperlukan untuk mengevaluasi moralitas perintah itu
sendiri. Sebagai contoh, perintah "anda haruslah mencuri" adalah amoral
bahkan jika suatu agama memerintahkannya, sehingga ateis memiliki
keuntungan untuk dapat lebih melakukan evaluasi tersebut daripada umat
beragama yang mematuhi perintah agamanya sendiri.
Filsuf politik kontemporer Britania Martin Cohen menawarkan contoh
historis perintah Alkitab yang menganjurkan penyiksaan dan perbudakan
sebagai bukti bahwa perintah-perintah religius mengikuti norma-norma
sosial dan politik, dan bukannya norma-norma sosial dan politik yang
mengikuti perintah religius. Namun ia juga mencatat bahwa kecenderungan
yang sama jugalah terjadi pada filsuf-filsuf yang tidak memihak dan
objektif. Cohen memperluas argumen ini dengan lebih mendetail pada Political Philosophy from Plato to Mao dalam kasus kitab Al-Qur'an
yang ia lihat telah memiliki peran yang disesalkan dalam memelihara
kode-kode sosial zaman pertengahan di tengah-tengah perubahan masyarakat
sekuler
Walaupun demikian, para ateis seperti Sam Harris berargumen bahwa kebergantungan agama Barat pada otoritas Yang Di Atas berkontribusi pada otoritarianisme dan dogmatisme.Sebenarnya pula, fundamentalisme agama dan agama ekstrinsik (agama dipeluk karena ia lebih menguntungkan)berkorelasi dengan otoritarianise, dogmatisme, dan prasangka. Argumen ini, bersama dengan kejadian-kejadian historis seperti Perang Salib, Inkuisisi, dan penghukuman tukang sihir, sering digunakan oleh para ateis yang antiagama untuk membenarkan pandangan mereka
@http://id.wikipedia.org/
Categories: RELIGION
0 comments:
Post a Comment