Redenominasi Rupiah
Posted by Muhammad Irfan on Tuesday, December 11, 2012 with No comments
WACANA penyederhanaan rupiah yang lebih akrab di telinga dengan sebutan ”Redenominasi” kembali menggaung.
Seiring rencana Menteri Keuangan (Menkeu) merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redominasi agar dapat dibahas di DPR awal tahun ini, sikap pro-kontra pun tak bisa dihindari. Mulai dari persoalan sejauh mana pentingnya menyederhanakan nilai rupiah, biaya sosialisasi yang tidak kecil hingga kesiapan masyarakat menerima kebijakan tersebut.
Munculnya sikap pro-kontra dalam menyikapi redenominasi wajar saja. Hal itu menunjukkan belum adanya satu persepsi melihat pentingnya kebijakan tersebut.
Namun, bila kita mencermati aktivitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya masyarakat sudah menjalankan penyederhanaan rupiah. Tengok saja, di beberapa pusat perbelanjaan, restoran dan kafe untuk kalangan masyarakat kelas menengah atas sudah menggunakan angka redenominasi seperti yang dicita-citakan pemerintah. Setidaknya terlihat pada papan harga, misalnya untuk minuman seharga Rp33.000 ditulis Rp33.
Ketika pertama kali wacana penyederhanaan rupiah dilontarkan Bank Indonesia (BI) memang sudah mengundang perdebatan yang seru. Selain istilah redenominasi yang masih asing bagi masyarakat, juga ada yang mengartikan sama dengan sanering (pemotongan nilai mata uang). Padahal pengertian redenominasi yang dimaksudkan adalah proses penyederhanaan rupiah dengan “menghilangkan” angka nol.
Berdasarkan kajian BI, idealnya angka nol yang “dibuang” sebanyak tiga digit, misalnya dari Rp1.000 menjadi Rp1. Ini bukan pemotongan nilai rupiah, tetapi penyederhanaan. Pemerintah menargetkan RUU Redenominasi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun depan.
RUU tersebut dalam finalisasi Kementerian Hukum dan HAM, selanjut-nya diajukan kepada Badan Legislatif DPR untuk dibahas. Pemerintah berharap, RUU Redenominasi sudah rampung paling lambat akhir 2013 sehingga pada 2014 mata uang redenominasi sudah bisa diedarkan bersama mata uang lama.
Pemerintah menargetkan dua mata uang tersebut akan beredar bersama pada 2014 sampai 2018. Dan, pada 2019 mata uang redenominasi sudah berlaku sepenuhnya. Untuk memuluskan jalannya program redenominasi tersebut, pemerintah dan BI sudah membentuk tim khusus di bawah Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres). Meski masih menunggu persetujuan DPR, pemerintah sudah menyiapkan segalanya untuk mengantisipasi pemberlakuan redenominasi kelak.
Begitu pentingkah redenominasi untuk dilaksanakan segera? Bagi pemerintah sangat penting, salah satu alasan utamanya adalah penyederhanaan dalam pencatatan atau sistem akuntansi.
“Denominasi yang besar menimbulkan inefisiensi dalam jual beli, karena itu perlu disederhanakan,” ungkap Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus Suprijanto pekan lalu.
Melihat keseriusan pemerintah memangkas angka nol rupiah, dengan sendirinya pemerintah sudah mematikan wacana perlu atau tidak dilaksanakan redenominasi.
Sekarang yang wajibkan dipertanyakan sejauh mana kesiapan pemerintah dalam menyosialisasikan kepada masyarakat? Persoalan sosialisasi bukan perkara gampang mengingat waktu pelaksanaan yang begitu singkat. Masyarakat harus mengerti betul soal manfaat redenominasi dan menghindari kekeliruan yang menilai redenominasi identik dengan pemotongan nilai uang. Negeri ini bisa amburadul bila masyarakat tak paham.
Jadi, kunci sukses pelaksanaan redenominasi sangat tergantung sejauh mana sosialisasi yang dilaksanakan pemerintah. Memang, beberapa negara berhasil menyederhanakan mata uangnya seperti Turki, namun ada juga yang gagal contohnya dialami Zimbabwe. Ingat, proses sosialisasi itu selain tidak gampang juga butuh biaya besar.
Seiring rencana Menteri Keuangan (Menkeu) merampungkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Redominasi agar dapat dibahas di DPR awal tahun ini, sikap pro-kontra pun tak bisa dihindari. Mulai dari persoalan sejauh mana pentingnya menyederhanakan nilai rupiah, biaya sosialisasi yang tidak kecil hingga kesiapan masyarakat menerima kebijakan tersebut.
Munculnya sikap pro-kontra dalam menyikapi redenominasi wajar saja. Hal itu menunjukkan belum adanya satu persepsi melihat pentingnya kebijakan tersebut.
Namun, bila kita mencermati aktivitas masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, sebenarnya masyarakat sudah menjalankan penyederhanaan rupiah. Tengok saja, di beberapa pusat perbelanjaan, restoran dan kafe untuk kalangan masyarakat kelas menengah atas sudah menggunakan angka redenominasi seperti yang dicita-citakan pemerintah. Setidaknya terlihat pada papan harga, misalnya untuk minuman seharga Rp33.000 ditulis Rp33.
Ketika pertama kali wacana penyederhanaan rupiah dilontarkan Bank Indonesia (BI) memang sudah mengundang perdebatan yang seru. Selain istilah redenominasi yang masih asing bagi masyarakat, juga ada yang mengartikan sama dengan sanering (pemotongan nilai mata uang). Padahal pengertian redenominasi yang dimaksudkan adalah proses penyederhanaan rupiah dengan “menghilangkan” angka nol.
Berdasarkan kajian BI, idealnya angka nol yang “dibuang” sebanyak tiga digit, misalnya dari Rp1.000 menjadi Rp1. Ini bukan pemotongan nilai rupiah, tetapi penyederhanaan. Pemerintah menargetkan RUU Redenominasi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun depan.
RUU tersebut dalam finalisasi Kementerian Hukum dan HAM, selanjut-nya diajukan kepada Badan Legislatif DPR untuk dibahas. Pemerintah berharap, RUU Redenominasi sudah rampung paling lambat akhir 2013 sehingga pada 2014 mata uang redenominasi sudah bisa diedarkan bersama mata uang lama.
Pemerintah menargetkan dua mata uang tersebut akan beredar bersama pada 2014 sampai 2018. Dan, pada 2019 mata uang redenominasi sudah berlaku sepenuhnya. Untuk memuluskan jalannya program redenominasi tersebut, pemerintah dan BI sudah membentuk tim khusus di bawah Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres). Meski masih menunggu persetujuan DPR, pemerintah sudah menyiapkan segalanya untuk mengantisipasi pemberlakuan redenominasi kelak.
Begitu pentingkah redenominasi untuk dilaksanakan segera? Bagi pemerintah sangat penting, salah satu alasan utamanya adalah penyederhanaan dalam pencatatan atau sistem akuntansi.
“Denominasi yang besar menimbulkan inefisiensi dalam jual beli, karena itu perlu disederhanakan,” ungkap Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus Suprijanto pekan lalu.
Melihat keseriusan pemerintah memangkas angka nol rupiah, dengan sendirinya pemerintah sudah mematikan wacana perlu atau tidak dilaksanakan redenominasi.
Sekarang yang wajibkan dipertanyakan sejauh mana kesiapan pemerintah dalam menyosialisasikan kepada masyarakat? Persoalan sosialisasi bukan perkara gampang mengingat waktu pelaksanaan yang begitu singkat. Masyarakat harus mengerti betul soal manfaat redenominasi dan menghindari kekeliruan yang menilai redenominasi identik dengan pemotongan nilai uang. Negeri ini bisa amburadul bila masyarakat tak paham.
Jadi, kunci sukses pelaksanaan redenominasi sangat tergantung sejauh mana sosialisasi yang dilaksanakan pemerintah. Memang, beberapa negara berhasil menyederhanakan mata uangnya seperti Turki, namun ada juga yang gagal contohnya dialami Zimbabwe. Ingat, proses sosialisasi itu selain tidak gampang juga butuh biaya besar.
@http://nasional.sindonews.com/
Categories: EKONOMI
0 comments:
Post a Comment