Menyoal Redenominasi Rupiah
Posted by Muhammad Irfan on Tuesday, December 11, 2012 with No comments
Redenominasi adalah
penyederhanaan penyebutan satuan harga maupun nilai mata uang. tanpa
mengurangi nilai dari uang. Nilai mata uang tetap sama meski angka
nolnya berkurang. Misalnya, Rp1.000 menjadi Rp1, sedangkan yang semula
Rp1 juta menjadi Rp1.000. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga
pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Sebagai contoh, premium semula Rp4.500 sekarang menjadi Rp4,50, atau mie
bakso asalnya Rp17.500 per mangkok menjadi Rp17,50. Pada redenominasi
nilai uang terhadap barang tidak berubah, karena hanya cara penyebutan
dan penulisan pecahan uang saja yang disesuaikan.
Redenominasi
rupiah bertujuan menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan
nyaman dalam melakuan transaksi. Kalau dulu pergi belanja membawa uang
Rp10 juta harus bawa tas, sekarang cukup 10 lembar pecahan Rp1000 yang
dapat dimasukkan ke dompet.
Tujuan
berikutnya, mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan negara
regional dan meningkatkan gengsi mata uang rupiah terhadap mata uang
internasional lainnya. Nilai tukar beberapa valuta asing terhadap rupiah
yang sampai mencapai 4 atau 5 digit memberi kesan rupiah yang lemah.
Coba kalau sekarang satu UD dollar nilai tukarnya menjadi Rp9,50, bukan
Rp9.500, maka kesannya nilai
rupiah kuat. Saat ini untuk kawasan Asia Tenggara hanya Indonesia dan
Vietnam saja yang memiliki pecahan mata uang hingga lima digit.
Diluar manfaat-manfaat diatas, tidak banyak manfaatnya dari segi pertumbuhan ekonomi, pemerataan atau kesempatan kerja.
Redenominasi berbeda dengan Sanering, yaitu
pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang
sama tidak dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli
masyarakat menurun. Sanering dilakukan karena terjadi hiperinflasi
(inflasi yang sangat tinggi), bertujuan mengurangi jumlah uang yang
beredar akibat lonjakan harga-harga. Pada sanering, nilai uang terhadap
barang berubah menjadi lebih kecil, karena yang dipotong adalah
nilainya. Pada tahun 1959, zaman pemerintahan Soekarno, pemerintah
melakukan sanering. Uang pecahan Rp1.000 nilainya dipotong menjadi
Rp10,-, dan pecahan Rp500 menjadi Rp5. Sedang untuk uang pecahan yang
lebih kecil tidak dipotong nilainya. Sebagai gambaran gaji guru SD pada
waktu itu sekitar Rp600.
Dampak terhadap harga-harga barang.
Darmin
Nasution., Gubernur Bank Indonesia (BI), dalam beberapa kesempatan
menyampaikan bahwa redenominasi tidak akan berdampak terhadap kenaikan
harga-harga atau inflasi karena akan ada pennurunan nilai rupiah. Secara
teoritis memang benar, namun tidak selalu demikian. Kenaikan
harga-harga atau inflasi tidak selalu dipengaruhi oleh hitung-hitungan
kuatitatif antara supplai uang dan suplai barang. Indflasi juga sangat dipengaruhi oleh ekpektasi dan sentimen pelaku pasar.
Meskipun
sangat berbeda antara redenominasi dengan sanering, banyak anggota
masyarakat yang nantinya belum dapat membedakan antara keduanya.
Ketidaktahuan ini, begitu pula trauma sanering, bisa menimbulkan
kepanikan bahwa uangnya akan merosot nilainya. Efek psychologi dari
kepanikan membuat masyarakat “tidak percaya” memegang mata uangnya
sehingga membelanjakan atau
memborong barang seperti properti, emas, kendaraan dan barang berharga
lainnya. Alhasil hukum penawaran permintaan terjadi dan harga-harga
barang bisa naik. Penyebab lainnya bisa terjadi karena ulah
pengusaha / pedagang yang mungkin “nakal” yang ikut-ikutan menaikan
harga jual barang/jasa mereka karena beranggapan harga mereka terlalu
rendah. Terakhir kenaikan barang yang menyebabkan inflasi bisa saja
terjadi karena adanya fenomena pembulatan harga keatas, Barang-barang
yang semula berharga Rp5.600-5.800, sekarang dipasang Rp6,-. Pembeli
masih mengira ah cuma naik 40-20 sen.
Oleh sebab itu akan dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak agar tidak ada pihak-pihak yang mencuri kesempatan “menaikan harga” jual dagangan mereka karena tiba-tiba harganya “terkesan” murah. Contoh kita biasa makan steak klas kaki lima seharga Rp. 40,000 sampai dengan Rp. 50,000,-. Dengan adanya redenominasi mendadak harganya jadi “cuma” Rp.40-50 dan terkesan murah. Ketika harga steak dinaikkan menjadi Rp60-70 kita tidak segera menyadarinya bahwa harga sebenarnya sudah 70 ribu rupiah. Ini yang kemudian menjadikan hyper-inflasi.
Oleh sebab itu akan dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak agar tidak ada pihak-pihak yang mencuri kesempatan “menaikan harga” jual dagangan mereka karena tiba-tiba harganya “terkesan” murah. Contoh kita biasa makan steak klas kaki lima seharga Rp. 40,000 sampai dengan Rp. 50,000,-. Dengan adanya redenominasi mendadak harganya jadi “cuma” Rp.40-50 dan terkesan murah. Ketika harga steak dinaikkan menjadi Rp60-70 kita tidak segera menyadarinya bahwa harga sebenarnya sudah 70 ribu rupiah. Ini yang kemudian menjadikan hyper-inflasi.
Implementasi
Berbeda dengan
sanering yang dilakukan secara mendadak tanpa pemberitahuan lebih
dahulu, redenominasi harus dilakuakn secara pelan-pelan dan dipersiapkan
sebaiknya-baiknay. Rencananya redenominasi rupiah ini akan dilaksanakan
secara penuh pada tahun 2022 nanti dan untuk masa sosialisasinya akan
dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2013 yang akan datang. Selama
masa sosialisasi tersebut, akan digunakan 2 (dua) jenis mata uang rupiah
yaitu rupiah lama dan rupiah baru. Jadi selama masa transisi, masyarakat bisa memilih mau membayar barang dengan mata uang rupiah lama atau mata uang rupiah baru.
Dari pengalaman beberapa negara yang sudah melakukan redenominasi diperlukan waktu minimal 10 tahun untuk implementasinya. Negara yang terakhir melaksanakan redenominasi, Turki, memerlukan waktu 10 tahun untuk merealisaikannya. Perinciannya:
- 1 tahun untuk sosialisasi guna memberikan penjelasan yang seluas-luasnya tentang makna redenominasi.
- 3 tahun berikutnya adalah masa transisi. Dalam masa ini dimasyarakat berlaku dua jenis mata uang, yang lama dan yang baru beredar bersama-sama. Dalam cetakan mata uang baru, dengan huruf yang tersamar masih bisa dibaca angka dalam mata uang lama. Jadi untuk mata uang baru Rp1,- tulisan Rp1.000 masih bisa terbaca.
- 3 tahun berikutnya adalah masa penarikan uang lama dari peredaran. Dalam masa ini uang lama yang masuk ke BI tidak akan diedarkan lagi tapi diganti dengan uang baru. Penampilan masih sama, yaitu angka pecahan uang lama secara tersamar masih bisa dibaca,
- 3 tahun terakhir masa penghapusan tulisan yang tersamar pada mata uang baru. Diharapkan pada akhir tahun ke 10 seluruh telah beredar uang baru yang bersih dari tulisan yang tersamar.
Pasti
akan menimbulkan pro-kontra terhadap wacana ini. Terlebih dalam era
reformasi ini hampir semua gagasan pemerintah selalu dilihat dari sisi
negatifnya oleh mereka-mereka yang mengatasnamakan wakil rakyat. Kita
tunggu saja.
@http://ekonomi.kompasiana.com/
Categories: EKONOMI
0 comments:
Post a Comment