Rencana Pindah Ibu Kota Jakarta dari Masa Ke Masa
Posted by Muhammad Irfan on Tuesday, September 24, 2013 with No comments
Jakarta dan Banjir Adalah Satu Nafas, Kapan Pindah Ibukota? (Sumber Photo : Metronews.Viva.com) |
Banjir
menjadi berita paling panas saat ini, sebenarnya kalau kita perhatikan
setiap lima tahun dalam siklus tahunan Banjir (2002, 2007 dan 2012) maka
selalu saja ada lontaran-lontaran penuh semangat agar Ibukota
dipindahkan saja keluar Jakarta. Tapi seperti biasanya ide itu kemudian
menemukan ruang senyapnya karena manusia Indonesia memang memiliki ciri
khas : “Cepat Lupa”. Namun diluar itu sangat menarik bila mempelajari
rencana perpindahan ibukota dalam konteks sejarah. Agar kita mengetahui
bagaimana orang masa lalu sudah memprediksi sebuah lokasi tepat atau
tidak tepat dijadikan Ibukota.
Perpindahan Ibukota dalam sejarah Indonesia sebenarnya sudah tidak asing lagi, bahkan jauh sebelum kemerdekaan RI, di
masa kerajaan-kerajaan Jawa ibukota sebuah kerajaan sering pindah, yang
paling fenomenal adalah perpindahan beberapa kali ibukota kerajaan Mataram-Islam
dari Kotagede ke Kerta, lalu ke Plered kemudian ke Kertosuro. Konsepsi
perpindahan ibukota pada masa Kerajaan sebenarnya masih dalam konteks
kekuasaan, namun selain konteks kekuasaan perpindahan di masa Sultan
Agung Anyokrokusumo pada tahun 1618 atas usulan Pangeran Surodono dan
Pangeran Harjodipati (keduanya adalah Pangeran dari Demak) dimana ketua
Tim perpindahan itu adalah Raden Mas Wiroguno yang kemudian dikenal
sebagai Tumenggung Wiraguna, salah satu Panglima Mataram dibawah
Panglima Besar Pangeran Mandurorejo yang menyerang Batavia pada tahun
1628 dan kemudian dimakamkan di Batavia (sekitar wilayah Pejaten
sekarang).
Tumenggung
Wiraguna adalah seorang ahli tata kota Jawa, dia yang menyarankan juga
pada Sultan Agung untuk merebut Batavia karena Batavia akan dijadikan
centrum loji bagi armada perdagangan Mataram yang memerlukan ekspor lada
dari Lampung dan menguasai pasar Internasional di Bantam atau Banten,
saat itu Mataram mendapatkan tawaran perdagangan lada dari India dan
Turki dan membutuhkan pelabuhan di wilayah barat, sementara wilayah
timur atau Bang Wetan, Sultan memerlukan Surabaya sebagai pengendali
loji dagang armada di wilayah timur untuk merebut Makassar. Menurut
catatan arkeolog HJ De Graaf, dengan mengutip referensi de Haen,
seorang Belanda yang pernah mengunjungi Mataram untuk urusan bisnis pada
tahun 1623, mencatat bahwa : “Perpindahan Ibukota Mataram dari
Kotagede ke Plered, tidak didasarkan perpindahan yang menyeluruh tapi
sebuah pemecahan antara kegiatan perdagangan dengan kegiatan
pemerintahan, terbukti di Plered tidak ada lokasi Catur Gatra, Catur
Gatra adalah konsepsi tata ruang kota dalam kosmologi Jawa yaitu :
Keraton (Pusat Pemerintahan, Hukum, Keteraturan dan Tertib Sipil),
Masjid Agung (Ibadah, Pusat produksi moral masyarakat dan Ketertiban
dalam Beragama), Alun-Alun (Pertemuan antara ‘Negara’ dengan ‘Rakyat’
atau lambang kekuatan ‘Negara’) dan Pasar (Bisnis Perdagangan). Seluruh
tata kota di Jawa berbasis Mataraman, selalu ada Catur Gatra-nya, namun
anehnya di Plered tidak ada ‘Pasar’, yang ada hanyalah Keraton,
Alun-Alun dan Masjid Agung. Ini membuktikan bahwa memang perpindahan
ibukota Mataram-Islam dari Kotagede ke Plered didasarkan pada
pertimbangan memisahkan antara kota administratif dengan kota bisnis.
Sultan Agung Anyokrokusumo, Raja Mataram Yang Pernah Memindahkan Ibukota Dari Kotagede ke Plered (Sumber Photo :Sejarah Indonesia) |
Sementara pusat bisnis tetap berada di
Kotagede. Ada satu lagi, dalam tata kota Mataram dibagi konsepsi ruang
berdasarkan ketrampilan masyarakatnya, seperti : wilayah Pande besi
kerap disebut Pandean, tempat potong ternak disebut Jagalan
(pemotongan), tempat hakim disebut Prajeksan dan banyak lagi
tempat-tempat berdasarkan kerja dan ketrampilan –namun di Plered
wilayah-wilayah kerja itu tidak ada, ini menunjukkan memang Plered hanya
disiapkan sebagai ‘ibukota administratif.
Pada
tahun 1620-an Kotagede menjadi kota yang paling ramai di wilayah
selatan Jawa. Kedatangan orang-orang Kalang dari Bali dengan bisnis
transportasi gerobaknya membuat perdagangan antara pesisir dan selatan
Jawa berkembang hebat, pada masa itu orang Kalang juga membuat rancangan
bisnis pegadaian yang menjadi motor atas kegiatan bisnis orang-orang
Jawa di masa lampau. Sultan ingin memisahkan kota bisnis dengan kota
administratif pemerintahan, maka pada tahun 1615 dibangunlah sebuah
lokasi diatas tanah 15 hektar seperti sebuah pulau kecil yang
dikelilingi parit, dimana lokasi itu dibangun kompleks keraton,
alun-alun dan masjid agung.
Di
era Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, perpindahan ibukota menjadi
wacana paling penting dan kerap dijadikan agenda utama dari Gubernur
Jenderal yang satu dengan Gubernur Jenderal yang lainnya. Pada masa
perang Diponegoro 1825-1830, pernah ada wacana memindahkan ibukota
Batavia ke Semarang secara darurat untuk mempermudah lalu lintas
pertukaran pasukan. Namun usul itu tidak jadi dilakukan sebab Pangeran
Diponegoro keburu kalah setelah pasukan khusus dari Manado dikirimkan ke
Semarang dan menembus pertahanan gerilya pasukan Diponegoro di wilayah
Banaran dan Magelang Selatan.
Stirum dan Perdebatan di Parlemen
Gubernur Jenderal JP Limburg Stirum, Gubernur Jenderal Beraliran Liberal dan Amat Monumental Peninggalannya Berupa Modernisasi Kota Bandung (Sumber Photo : Troppenmusium) |
“Tak
Mungkin Membangun Pemerintahan Kolonial yang Tertata Rapi Tanpa
Memperhatikan Kesehatan, Tanpa Memperhatikan Higienis, dan Tanpa Membuat
Tata Kota yang Teratur, Kemarin waktu Departement Van Oorlog (DVD)
–Departemen Urusan Perang- Hindia Belanda memusatkan Bandung sebagai
Markas Militer Hindia Belanda, Bandung sebagai Kota dengan Pertahanan
terkuat di Asia, tapi kenapa birokrasi kemudian tidak menggabungkan
dengan Militer di Bandung?”
(Pidato JP Van Limburg Stirum di Volksraad tahun 1916)
Pada
masa perluasan agenda Stirum untuk memindahkan ibukota dari Batavia ke
Bandung, Stirum mendasarkan diri pada data-data kesehatan yang
dikeluarkan oleh para ahli kesehatan publik Hindia Belanda selain itu
Stirum mempelajari rencana tata kota dengan teknik lansekap dan udara
kota : antara udara yang baik dan udara yang polutif, Pada
bulan November 1916, Stirum mengundang H.F Tillema, seorang ahli
kesehatan publik tentang kondisi Batavia, di ruangan kerja Stirum H.F
Tillema menjelaskan tentang bagaimana Batavia sudah amat kotornya,
“Batavia secara kontur terletak di daerah rendah, biasanya daerah rendah
rentan terkena berbagai macam penyakit, yang paling dikenal penyakit di
Batavia adalah ‘Malaria’. –Sementara angka kematian bayi-bayi di
wilayah pesisir Jawa lebih tinggi dengan angka kematian bayi di wilayah
pedalaman yang cenderung sehat”.
Stirum
dikenal sebagai orang yang amat terobsesi dengan keteraturan dan
kesehatan, oleh Stirum rencana pemindahan kota menjadi rencana politik
yang teratur dan sistematis, rencana Stirum ini mendapatkan perlawanan
hebat dari berbagai macam Departemen Pemerintah, utamanya bagi mereka
yang sudah terbiasa menjual kekuasaan untuk kongkalingkong dengan
pengusaha dalam pengerjaan-pengerjaan proyek publik.
Gedung Sate, Monumen Perpindahan Ibukota Hindia Belanda
Tekad
Stirum terus menguat, ia memerintahkan beberapa ahli planologi dan tata
ruang kota untuk membangun sebuah perencanaan yang sistematis tentang
sebuah sistem pemerintahan administratif dalam satu kompleks, namun
untuk awalnya ia memindahkan beberapa departemen seperti : departemen
telepon, departemen urusan air bersih, departemen Meteorologi,
Departemen Vulkanologi lalu disekitar lingkungan Departemen, Stirum
membangun pusat-pusat riset seperti Penelitian Geologi, Riset Kesehatan
Organis dan berbagai macam lembaga riset yang menunjang Bandung sebagai
kota modern. Pada tahun 1922 Stirum membuat cetak biru besar Kompleks
Pemerintahan Lengkap, yang kemudian baru bisa terlaksana pada masa
Pemerintahan Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk De Graef pada tahun
1929.
Pada
tanggal 18 Desember 1929 keluar keputusan Gementee Bandoeng berdasarkan
keputusan Raadbesluit tentang ijin pembangunan kota Bandung. Keputusan
ini merupakan hasil desakan dari kelompok yang mendukung ide Stirum
untuk menjadikan kota Bandung sebagai kota Batavia, kelompok Stirum ini
didukung oleh salah seorang tentara veteran Perang Dunia Pertama, yang
pernah ikut tempur di medan Verdun Belgia, dia adalah Kolonel (Zeni) V.L
Slors. Dalam opininya di salah satu koran Belanda, Slors mengemukakan
pendapat
“Sudah
waktunya bagi negeri Hindia Belanda untuk memiliki satu susunan tata
kota pemerintahan administratif yang teratur dan efektif jauh dari hiruk
pikuk kegiatan bisnis dan segala persoalan sosial yang akut. Bandung
akan jadi kota yang nyaman untuk kegiatan-kegiatan pemerintahan kolonial
paling mapan di dunia ini”.
(Slors, De Telegraaf tahun 1929)
Akhirnya
setelah disetujui oleh Volksraad dan mendapatkan mandat penting dari
Gubernur Jenderal, Sloors membentuk rencana pemindahan ibukota dari
Batavia ke Bandung dengan tim terdiri dari G.Hendrik (bidang Planologi),
J. Berger (Arsitektuur) dan RH De Roo (Gambar dan Perencanaan).
Hasilnya kemudian terkenal dengan nama “Blawdruk Slors”.
Gedung Sate, Gouvernments Beedrijven- Kompleks Gedung-Gedung Pemerintah (Sumber Photo : TroppenMusium) |
Lahan
seluas 27 hektar disiapkan untuk jadi kompleks pemerintahan paling
lengkap, di belakang lokasi lahan ada lahan seluas 5000 meter persegi
pada sebuah perbukitan yang rencananya dibangun sebagai rumah
peristirahatan Gubernur Jenderal, lahan peristirahatan itu dikenal
sebagai “Babakan Siliwangi” sementara bangunan yang dibangun pada
kompleks utama kini disebut Gedung Sate.
Bung Karno, Mangkok dan Palangkaraya
Namun
dari seluruh cerita soal perpindahan ibukota, tidak ada yang sedramatik
kisah Bung Karno dan Palangkaraya-nya. Kisah ini berawal dari tahun
1950 ketika salah satu pilot pesawat Bung Karno bernama Tjilik Riwut
membuat terpesona Bung Karno karena menunjukkan tentang sebuah wilayah
yang indah, sebuah lembah yang dikelilingi hutan pada sebuah penerbangan
singkat di atas Kalimantan. Tjilik Riwut sendiri adalah orang yang
dekat dengan Bung Karno, kedekatan
Tjilik Riwut berawal pada tahun 1946, Bung Karno terpesona dengan
keberanian seorang pemuda berusia 28 tahun karena kemampuannya
berorganisasi dan keberaniannya dalam bertempur, pada bulan Desember
1946 Tjilik Riwut bisa menghadirkan ratusan tokoh Dayak ke depan Bung
Karno dan berkomitmen atas pendirian Republik Indonesia, hadirnya tokoh
Dayak itu diterima di Gedong Agung Yogyakarta dan disambut dengan tari
serimpi ala Keraton Yogyakarta. Hadir dalam pertemuan itu : Sri Sultan,
PM Amir Sjarifuddien, Hatta dan Pangeran Prabuningrat. Di dalam
pembahasan itu Bung Karno meminta agar para ketua adat bersatu dalam
proses kemerdekaan Republiek. Pada tahun 1947 Bung Karno memerintahkan
Tjilik Riwut langsung terjun ke Kalimantan untuk membangun koordinasi
dengan para tokoh disana, dan memimpin Kalimantan, maka pada tanggal 17
Oktober 1947, Tjilik Riwut memimpin beberapa penerjun payung terjun ke
daratan Kalimantan, operasi ini dinamakan MN 1001. Kelak setiap tanggal
17 Oktober diperingati sebagai “Hari Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU”.
Terkesan dengan kehebatan Tjilik Riwut di masa revolusi, Bung Karno
sering mengajak Tjilik Riwut bila ia berkeliling dengan pesawat dan
berkunjung ke Kalimantan.
Foto Aerial Kota Palangkaraya Dengan Bunderan Palangka Sebagai Centrum-Kota, Terlihat Kota Palangkaraya Memiliki Keteraturan Tata Kota Yang Baik (Sumber Photo : Aerialcityphoto.com) |
Saat
dipesawat Bung Karno terinspirasi oleh rencana boyongan Ibukota Mataram
dari Kotagede ke Plered, Bung Karno tidak mau nanti bila ia terjebak
pada ‘Rencana Stirum’ yang saat itu kerap diomongkan oleh para ahli
arsitek-arsitek kenamaan Djakarta, bahwa bila Djakarta dipindahkan maka
tempat yang paling tepat adalah Bandung, “bila saya memindahkan Ibukota
dari Jakarta ke Bandung, apa bedanya saya dengan Belanda” kata Bung
Karno di hadapan beberapa menterinya. Bung Karno kemudian tepekur dalam
renungannya.
Pembicaraan
rencana pemindahan Ibukota pada awalnya adalah menurut istilah Bung
Karno ‘Revolusi Lokasi’. Artinya : ‘Segala hal yang berbau kolonial akan
dihancurkan untuk digantikan yang baru, sebuah Tata Kota Indonesia yang
‘berkeadilan sosial’. Sebuah Tata Kota yang ramah pada manusia” hal ini
diomongken oleh Bung Karno pada saat Bung Karno meresmikan Kota
Palangkaraya sebagai sebuah Ibukota Palangkaraya di Kalimantan Tengah
tahun 1957 di samping Pasar Pahandut.
Ada
cerita yang menarik yang banyak beredar di kalangan masyarakat luas,
dan sudah menjadi folklor bahwa pemilihan Palangkaraya sebagai ibukota
RI, adalah berkat inspirasi Bung Karno di satu sore ketika ia berdiri di
beranda Istana Negara. Saat itu ada beberapa Menteri Bung Karno
termasuk Semaun dan Chaerul Saleh, Semaun dengan semangat bercerita soal
tata kota Sovjet Uni yang dibangun rapi, sementara Chaerul Saleh
membangga-banggakan Jerman Barat. Sukarno tiba-tiba meminta ajudannya
Letkol Sugandhi untuk membawakan satu mangkok obat kecil berwarna putih
bersih, Bung Karno terpejam lalu menumpakkan mangkok itu diatas peta,
akhirnya mangkok menutupi Palangkaraya.
“Inilah Ibukota Indonesia” kata Bung Karno perlahan.
Terlepas
dari cerita itu benar atau tidak, tapi niat Bung Karno memindahkan
Ibukota merupakan pokok bahasan yang selalu diupdates bila kemarahan
masyarakat memuncak setelah banjir dan macet total.
Ide
Bung Karno memindahkan kota ini menjadi perbincangan ramai di akhir
tahun 1950-an, bahkan banyak orang sudah bersiap akan pindah ke
Palangkaraya. Di tahun 1961 ada beberapa kali bahasan serius untuk
mempersiapkan perpindahan ibukota ke Palangkaraya yang digerakkan RTA
Milono, namun rencana ini menumpuk dan gagal menjadi isu besar ketika
Bung Karno dengan basah kuyup kehujanan di Yogyakarta berpidato soal
Perebutan Irian Barat pada bulan Desember 1961.
Palangkaraya
dibangun sangat rapi, titik nol dimulai pada bunderan besar, lalu
akses-akses yang nembus ke bundaran dibentuk dengan lurus-lurus, oleh
Bung Karno jalan lurus itu pernah diwacanakan sebagai landasan pesawat
tempur, “Djalan itu cocok untuk landasan pesawat tempur” kata Bung Karno
di depan Brigjen Sumitro tahun 1964, saat Brigjen Sumitro baru saja
kembali dari Long Bawang, garis depan konfrontasi militer dengan Pihak
Malaysia.
Palangkaraya
dibangun menjadi kota yang amat teratur dan khas Indonesia, bila kita
berkunjung ke kota Palangkaraya terutama di wilayah dekat Bunderan Besar
Palangka maka yang akan terkenang adalah Kebayoran Baru di tahun-tahun
1970 atau 1980-an, serba rindang dan teratur, Palangkaraya
kini memang seperti kota Pegawai. Tata Kotanya tersusun dengan rapi,
walaupun udaranya sering panas, namun anginnya adalah angin gunung
karena sekeliling palangkaraya adalah hutan lebat.
Jonggol, Sebuah Cerita Lain Tentang Pergeseran Ibukota RI (Sumber Photo : clubdangkers.blogspot.com) |
Ide
perpindahan Ibukota keluar Jawa jelas tidak akan laku di Jaman Pak
Harto, tipikal pemerintahan Orde Baru adalah Pemerintahan Sentralistik,
Jakarta adalah pusat dari kekuasaan itu sendiri. Namun pada tahun 1984
ada ide memindahkan ibukota yang dinilai sudah tidak layak ke sebuah
wilayah administratif mandiri, ide ini menghebat pada tahun 1987, pada
tahun itu ‘spekulasi’ tanah menggila, pusatnya adalah di wilayah
Kuningan Jakarta Selatan atau dijulukin sebagai ‘wilayah Segitiga Emas’,
para spekulan yang merupakan konglomerat-konglomerat besar memborong
tanah di seputaran Kuningan, penggorengan harga tanah ini juga menjadi
mainan para spekulan untuk mengolah isu Jonggol menjadi Ibukota RI.
Entah ini isu darimana namun yang jelas Presiden Suharto belum pernah
mengeluarkan keputusan resmi atau melontarkan ke depan publik tentang
Jonggol menjadi ibukota RI, namun spekulan kemudian memburu tanah
Jonggol dan harga serta merta naik. Sampai tumbangnya Presiden Suharto
pada tahun 1998 perpindahan ibukota dari Jakarta ke Jonggol hanyalah
wacana kosong.
Dan Ibukota RI tetaplah Jakarta……………….
@http://sejarah.kompasiana.com/
0 comments:
Post a Comment