Realisasi Redenominasi Mendesak
Posted by Muhammad Irfan on Thursday, January 24, 2013 with No comments
Gubernur Bank Indonesia (BI) Darmin Nasution mengatakan kebutuhan
penyederhanaan mata uang atau redenominasi diperkirakan terus meningkat,
khususnya peningkatan efisiensi. Dengan redenominasi, jumlah digit
Rupiah menjadi lebih sederhana, sehingga akan terjadi peningkatan
efisiensi di sektor keuangan dan sektor riil.
Dengan redenominasi, penyelesaian dan pencatatan transaksi pun akan lebih singkat dan biayanya lebih murah. "Yang memperbesar kerisauan Indonesia adalah nilai nominal transaksi bayar membayar terbesar di BI dalam sistem //real time gross settlement// (RTGS) meningkat hingga tiga kali lipat dalam tiga tahun terakhir," kata Darmin dalam konsultasi publik redenominasi di Jakarta, Rabu (23/1).
Akhir 2012, nilai nominal transaksi melalui RTGS mencapai Rp 404 triliun per hari. Jumlah ini meningkat 187 persen dibandingkan Rp 141,9 triliun per hari pada 2009. Jika dikalikan 365 hari dalam setahun, maka nilainya akan dahsyat sekali.
Artinya, kata Darmin, ada sistem yang berat pada sistem informasi keuangan ke depan. Pasalnya, jika nilai nominal RTGS meningkat, maka semua perbankan di Indonesia juga akan mengalaminya.
Selama ini, Rupiah dipersepsikan bernilai sangat rendah dibandingkan negara lain di ASEAN. Pecahan Rp 100 ribu yang saat ini berlaku menempati posisi kedua terbesar di ASEAN setelah Vietnam dengan denominasi terbesar 500 ribu. "Jika Vietnam sudah menyiapkan redenominasinya, maka Indonesia akan mengambil posisi paling terbelakang," ujar Darmin.
Kajian akademis redehominasi oleh Indonesia sudah dilakukan sejak 2007. BI sudah menggali pendalaman dari beberapa negara yang berhasil melakukannya, seperti Turki, Romania, Polandia, dan Ukraina. N
Dengan redenominasi, penyelesaian dan pencatatan transaksi pun akan lebih singkat dan biayanya lebih murah. "Yang memperbesar kerisauan Indonesia adalah nilai nominal transaksi bayar membayar terbesar di BI dalam sistem //real time gross settlement// (RTGS) meningkat hingga tiga kali lipat dalam tiga tahun terakhir," kata Darmin dalam konsultasi publik redenominasi di Jakarta, Rabu (23/1).
Akhir 2012, nilai nominal transaksi melalui RTGS mencapai Rp 404 triliun per hari. Jumlah ini meningkat 187 persen dibandingkan Rp 141,9 triliun per hari pada 2009. Jika dikalikan 365 hari dalam setahun, maka nilainya akan dahsyat sekali.
Artinya, kata Darmin, ada sistem yang berat pada sistem informasi keuangan ke depan. Pasalnya, jika nilai nominal RTGS meningkat, maka semua perbankan di Indonesia juga akan mengalaminya.
Selama ini, Rupiah dipersepsikan bernilai sangat rendah dibandingkan negara lain di ASEAN. Pecahan Rp 100 ribu yang saat ini berlaku menempati posisi kedua terbesar di ASEAN setelah Vietnam dengan denominasi terbesar 500 ribu. "Jika Vietnam sudah menyiapkan redenominasinya, maka Indonesia akan mengambil posisi paling terbelakang," ujar Darmin.
Kajian akademis redehominasi oleh Indonesia sudah dilakukan sejak 2007. BI sudah menggali pendalaman dari beberapa negara yang berhasil melakukannya, seperti Turki, Romania, Polandia, dan Ukraina. N
@http://www.republika.co.id
OJK: Sosialisasi Redenominasi Harus Menyeluruh
Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Muliaman Darmansyah
Hadad, mengatakan OJK siap menjalankan keputusan apapun terkait
redenominasi rupiah.
Meski demikian, Muliaman menilai perlu dilakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada masyarakat. "OJK ikut saja," ujar Muliaman kepada wartawan di sela-sela Seminar Economic Review Evaluasi 2012 dan Prospek 2013 di Hotel JW Marriott, Jakarta, Kamis (13/12).
Seperti diketahui, pemerintah mengusulkan agar mata uang rupiah disederhanakan (redenominasi rupiah). Nantinya, mata uang akan disederhanakan dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misalnya, Rp 1.000 menjadi Rp 1. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Redenominasi berbeda dengan sanering. Karena, kata dia, sanering adalah kebijakan pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.
Mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, mengaku tidak memusingkan rencana pemerintah yang akan menerapkan redenominasi rupiah. "Boleh ya, boleh tidak. Diadakan maupun tidak diadakan juga tak akan mengganggu banyak," ujar JK.
Jika pada akhirnya redenominasi rupiah diterapkan, JK menyebut pemerintah harus mengubah pola berpikir masyarakat. Harapannya agar masyarakat tidak menilai redenominasi rupiah layaknya peristiwa pemotongan Rp. 1.000 ke Rp. 1 pada 1965.
Meski demikian, Muliaman menilai perlu dilakukan sosialisasi secara menyeluruh kepada masyarakat. "OJK ikut saja," ujar Muliaman kepada wartawan di sela-sela Seminar Economic Review Evaluasi 2012 dan Prospek 2013 di Hotel JW Marriott, Jakarta, Kamis (13/12).
Seperti diketahui, pemerintah mengusulkan agar mata uang rupiah disederhanakan (redenominasi rupiah). Nantinya, mata uang akan disederhanakan dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang tersebut. Misalnya, Rp 1.000 menjadi Rp 1. Hal yang sama secara bersamaan dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak berubah.
Redenominasi berbeda dengan sanering. Karena, kata dia, sanering adalah kebijakan pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang.
Mantan Wakil Presiden, Jusuf Kalla, mengaku tidak memusingkan rencana pemerintah yang akan menerapkan redenominasi rupiah. "Boleh ya, boleh tidak. Diadakan maupun tidak diadakan juga tak akan mengganggu banyak," ujar JK.
Jika pada akhirnya redenominasi rupiah diterapkan, JK menyebut pemerintah harus mengubah pola berpikir masyarakat. Harapannya agar masyarakat tidak menilai redenominasi rupiah layaknya peristiwa pemotongan Rp. 1.000 ke Rp. 1 pada 1965.
@http://www.republika.co.id/
Kata Pengamat, Redenominasi Rupiah Picu Inflasi Tinggi
Ekonom Lana Soelistianingsih berpendapat redenominasi rupiah berpeluang
memicu inflasi tinggi jika Pemerintah tidak menyiapkan uang pecahan
terkecil atau uang receh.
"Jika tidak siap dengan uang kecilnya, bisa menyebabkan inflasi yang berlebihan," kata Lana di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, Pemerintah perlu memastikan ketersediaan dan pasokan uang kecil atau receh hingga ke masyarakat di daerah terpencil. Uang pecahan satuan sen, lanjut dosen Fakultas Ekonomi UI itu, harus tersedia karena nilainya yang setara dengan pecahan Rp100.
Misalnya harga Rp 1.000, setelah mengalami redenominasi, akan berubah menjadi Rp 1. begitu pula harga Rp 1.100 yang berubah menjadi Rp1,1 setelah redenominasi.
"Karena tidak ada uang kecil tadi, efeknya, harga barang bukannya berubah menjadi Rp1,1 tetapi dibulatkan menjadi Rp 1,5 atau bahkan Rp 2. Hasilnya, inflasi yang berlebihan hingga 500 persen," jelasnya.
Lana juga mengingatkan bahwa pencapaian tingkat inflasi yang saat ini mencapai 4,32 persen masih dibantu oleh subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan harga komoditas yang turun.
"Misalkan nanti subsidi BBM dinaikkan atau dicabut, berapa inflasi kita? Karena itu harus dihitung lagi dampak yang akan muncul dari rencana redenominasi," tuturnya.
Meski berpendapat redenominasi belum penting untuk diterapkan saat ini, ekonom di salah satu perusahaan sekurits itu mengakui beberapa keuntungan yang didapat dari penyederhanaan pecahan mata uang tersebut.
Menurut Lana, redenominasi akan sangat memudahkan pencatatan nominal harga dalam neraca keuangan dan mendukung persaingan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 mendatang.
"Sehingga nanti satu dolar AS itu bukan Rp 9.000 melainkan Rp 9. Tetapi, nilainya semu karena fundamentalnya tidak berubah, hanya penghilangan nol saja," pungkasnya.
"Jika tidak siap dengan uang kecilnya, bisa menyebabkan inflasi yang berlebihan," kata Lana di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, Pemerintah perlu memastikan ketersediaan dan pasokan uang kecil atau receh hingga ke masyarakat di daerah terpencil. Uang pecahan satuan sen, lanjut dosen Fakultas Ekonomi UI itu, harus tersedia karena nilainya yang setara dengan pecahan Rp100.
Misalnya harga Rp 1.000, setelah mengalami redenominasi, akan berubah menjadi Rp 1. begitu pula harga Rp 1.100 yang berubah menjadi Rp1,1 setelah redenominasi.
"Karena tidak ada uang kecil tadi, efeknya, harga barang bukannya berubah menjadi Rp1,1 tetapi dibulatkan menjadi Rp 1,5 atau bahkan Rp 2. Hasilnya, inflasi yang berlebihan hingga 500 persen," jelasnya.
Lana juga mengingatkan bahwa pencapaian tingkat inflasi yang saat ini mencapai 4,32 persen masih dibantu oleh subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan harga komoditas yang turun.
"Misalkan nanti subsidi BBM dinaikkan atau dicabut, berapa inflasi kita? Karena itu harus dihitung lagi dampak yang akan muncul dari rencana redenominasi," tuturnya.
Meski berpendapat redenominasi belum penting untuk diterapkan saat ini, ekonom di salah satu perusahaan sekurits itu mengakui beberapa keuntungan yang didapat dari penyederhanaan pecahan mata uang tersebut.
Menurut Lana, redenominasi akan sangat memudahkan pencatatan nominal harga dalam neraca keuangan dan mendukung persaingan dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 mendatang.
"Sehingga nanti satu dolar AS itu bukan Rp 9.000 melainkan Rp 9. Tetapi, nilainya semu karena fundamentalnya tidak berubah, hanya penghilangan nol saja," pungkasnya.
@http://www.republika.co.id/
Categories: EKONOMI
0 comments:
Post a Comment