Masyarakat Minang di Seremban, Malaysia
Posted by Muhammad Irfan on Friday, August 19, 2011 with No comments
BAGI mereka yang dirantau dan telah meraih keberhasilan, membantu kampung halaman, termasuk keluarga yang tengah menderita, sungguh suatu hal yang dipuji. Tindakan seperti itu di Indonesia biasa dilakukan oleh “Keluarga Besar Ini”, “Keluarga Besar Itu”, atau “Paguyuban Warga Kampung A”, “Paguyuban Warga Kampung B”, dan lain-lain.
Di Malaysia, paling tidak, hal itu dilakukan oleh mukimin dari Minangkabau di Seremban, Negeri Sembilan. Bantuan ke kampung halaman juga telah mulai terwujud. “Kami berhimpun di organisasi yang telah terdaftar di pemerintah, Pertubuhan Kebajikan Masyarakat Minang Daerah Seremban Negeri Sembilan Darul Khusus,” kata Fauzi Hj Abdur Rahman, salah satu pimpinan dari perhimpunan tersebut.
Ketika ditemui di salah satu kios latihan mengemudi di Seremban, sekitar 50 kilometer selatan Kuala Lumpur, sejumlah pengurus perhimpunan Minang itu tengah melakukan rapat. “Kami tengah membahas rencana pertemuan besar untuk bersilaturahmi, sekaligus membuat semacam kartu anggota, dan rencana menghimpun dana secara bersama untuk dikirim ke wilayah Minangkabau, Sumatera Barat,” tambah Fauzi.
Pertubuhan akan mendata dan memberikan kartu biru dan merah kepada warga asal Minang. Kartu biru bagi mereka yang telah menjadi warga negara Malaysia, kartu merah bagi yang masih menjadi warga negara Indonesia.
Selama ini, secara sendiri-sendiri, mereka memang sudah mengirim bantuan untuk keluarga di tanah leluhur. “Kami sekarang mencoba untuk mengirim dana secara bersama-sama sehingga terasa besarnya untuk memperbaiki atau membangun masjid, madrasah, atau sarana masyarakat lainnya,” kata Fauzi.
Para pengurus pertubuhan itu tertarik ketika mengetahui bahwa Kompas melalui Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) juga banyak membantu masyarakat Sumatera Barat yang tengah menderita. DKK yang menghimpun sumbangan dari para dermawan pembaca Kompas, paling tidak, telah membantu perbaikan gizi bagi lebih dari 900 anak balita gizi buruk di Sumbar. “Kami juga akan berbuat seperti DKK, memperhatikan dan membantu keluarga yang tengah menderita di tanah kelahiran,” kata Hasyim yang hijrah ke Negeri Sembilan sejak masih muda di tahun 1941.
NEGERI Sembilan dengan Seremban sebagai ibu kotanya memang memiliki mukimin asal Minang terbesar di Malaysia. Tidak ada data resmi tentang mukimin itu. Fauzi hanya menjawab, ribuan.
Meski demikian, hubungan dekat Negeri Sembilan dengan Sumatera Barat telah terjalin sejak ratusan tahun lalu. Ketika Pelabuhan Port Dickson mulai dikembangkan pada abad ke- 15, maka berbondong-bondonglah orang dari luar yang masuk dan mencoba peruntungan di Negeri Sembilan. Termasuk di antara mereka yang masuk melalui Port Dickson adalah para perantau dari Sumatera Barat.
Tidak ada data resmi sejak kapan masyarakat Sumbar melintasi Selat Malaka. “Menurut orang-orang tua kami dulu, para leluhur kami mulai masuk di kala Kerajaan Pagaruyung berjaya di Tanah Minangkabau, yakni sekitar tahun 1718,” kata Fauzi.
Berbagai data yang ada di Kompas menyebutkan, Pagaruyung merupakan ibu kota Kerajaan Minangkabau zaman dulu, terletak di Provinsi Sumatera Barat bagian tengah. Dalam Perang Paderi, Pagaruyung yang semula dikuasai oleh kaum Paderi kemudian dihancurkan oleh penjajah Belanda sehingga perkembangannya merosot drastis dan kini menjadi satu kota kecil saja.
Data lain menyebutkan, dengan meninggalnya Sultan Achmad Syah, Raja Minangkabau keturunan Hindu-Jawa yang telah masuk Islam, sekitar tahun 1679, terjadilah perang perebutan kekuasaan. Perang di Pagaruyung ini terjadi antara keturunan raja Hindu-Jawa dan para pengikutnya di satu pihak dengan para penguasa di Sungai Tarab dan Batipuh di lain pihak. Perang saudara ini berakhir dengan kemenangan di pihak Sungai Tarab dan Batipuh.
Tidak ada data resmi mengapa orang Minangkabau berbondong-bondong menyeberang dan masuk ke Negeri Sembilan. Apakah karena menyelamatkan diri dari berbagai kejadian yang terjadi waktu itu, atau karena memang jiwa perantau dan pedagang yang mendalam, atau karena dua-duanya yang saling berkaitan? Wallahu a’lam.
Yang jelas, perpindahan masyarakat Minang ke Negeri Sembilan juga dengan membawa seluruh tradisi, termasuk arsitektur rumah bagonjong (bertanduk). Ketika ada perhelatan dengan menggunakan pakaian adat, misalnya, akan ditemukan banyak wanita Seramban ataupun Negeri Sembilan menggunakan penutup kepala bagonjong seperti pakaian adat Minangkabau. Arsitektur Museum Seramban juga model rumah besar bertanduk, rumah gadang bagonjong, seperti yang banyak ditemui di Sumatera Barat.
KETUA Nasional Korps Mubaligh Muhammadiyah Tarmizi Taher, yang juga mengunjungi mukimin Minang di Seremban, memuji keinginan untuk membantu memajukan tanah leluhur. “Tindakan itu sangat bagus karena bisa membantu membangun dan menyejahterakan masyarakat daerah asal,” katanya.
Tarmizi, mantan Menteri Agama yang kelahiran Padang, Sumatera Barat, meminta agar mereka menjadi anggota masyarakat Malaysia yang baik. “Ikutilah aturan yang berlaku di tempat tinggal ini. Karena dengan berbuat baik dan bisa diterima oleh masyarakat lingkungan, maka akan lebih banyak manfaat yang didapat,” tambahnya.
Fauzi Hj Abdur Rahman setuju dengan pendapat Tarmizi Taher. “Kami di sini memang berbuat patuh sesuai aturan negara Malaysia. Hitam kata negara, hitam pula kata kami. Putih kata negara, putih pula kata kami,” kata Fauzi mengibaratkan kepatuhan masyarakat Minang kepada Pemerintah Malaysia.
Di Malaysia, paling tidak, hal itu dilakukan oleh mukimin dari Minangkabau di Seremban, Negeri Sembilan. Bantuan ke kampung halaman juga telah mulai terwujud. “Kami berhimpun di organisasi yang telah terdaftar di pemerintah, Pertubuhan Kebajikan Masyarakat Minang Daerah Seremban Negeri Sembilan Darul Khusus,” kata Fauzi Hj Abdur Rahman, salah satu pimpinan dari perhimpunan tersebut.
Ketika ditemui di salah satu kios latihan mengemudi di Seremban, sekitar 50 kilometer selatan Kuala Lumpur, sejumlah pengurus perhimpunan Minang itu tengah melakukan rapat. “Kami tengah membahas rencana pertemuan besar untuk bersilaturahmi, sekaligus membuat semacam kartu anggota, dan rencana menghimpun dana secara bersama untuk dikirim ke wilayah Minangkabau, Sumatera Barat,” tambah Fauzi.
Pertubuhan akan mendata dan memberikan kartu biru dan merah kepada warga asal Minang. Kartu biru bagi mereka yang telah menjadi warga negara Malaysia, kartu merah bagi yang masih menjadi warga negara Indonesia.
Selama ini, secara sendiri-sendiri, mereka memang sudah mengirim bantuan untuk keluarga di tanah leluhur. “Kami sekarang mencoba untuk mengirim dana secara bersama-sama sehingga terasa besarnya untuk memperbaiki atau membangun masjid, madrasah, atau sarana masyarakat lainnya,” kata Fauzi.
Para pengurus pertubuhan itu tertarik ketika mengetahui bahwa Kompas melalui Dana Kemanusiaan Kompas (DKK) juga banyak membantu masyarakat Sumatera Barat yang tengah menderita. DKK yang menghimpun sumbangan dari para dermawan pembaca Kompas, paling tidak, telah membantu perbaikan gizi bagi lebih dari 900 anak balita gizi buruk di Sumbar. “Kami juga akan berbuat seperti DKK, memperhatikan dan membantu keluarga yang tengah menderita di tanah kelahiran,” kata Hasyim yang hijrah ke Negeri Sembilan sejak masih muda di tahun 1941.
NEGERI Sembilan dengan Seremban sebagai ibu kotanya memang memiliki mukimin asal Minang terbesar di Malaysia. Tidak ada data resmi tentang mukimin itu. Fauzi hanya menjawab, ribuan.
Meski demikian, hubungan dekat Negeri Sembilan dengan Sumatera Barat telah terjalin sejak ratusan tahun lalu. Ketika Pelabuhan Port Dickson mulai dikembangkan pada abad ke- 15, maka berbondong-bondonglah orang dari luar yang masuk dan mencoba peruntungan di Negeri Sembilan. Termasuk di antara mereka yang masuk melalui Port Dickson adalah para perantau dari Sumatera Barat.
Tidak ada data resmi sejak kapan masyarakat Sumbar melintasi Selat Malaka. “Menurut orang-orang tua kami dulu, para leluhur kami mulai masuk di kala Kerajaan Pagaruyung berjaya di Tanah Minangkabau, yakni sekitar tahun 1718,” kata Fauzi.
Berbagai data yang ada di Kompas menyebutkan, Pagaruyung merupakan ibu kota Kerajaan Minangkabau zaman dulu, terletak di Provinsi Sumatera Barat bagian tengah. Dalam Perang Paderi, Pagaruyung yang semula dikuasai oleh kaum Paderi kemudian dihancurkan oleh penjajah Belanda sehingga perkembangannya merosot drastis dan kini menjadi satu kota kecil saja.
Data lain menyebutkan, dengan meninggalnya Sultan Achmad Syah, Raja Minangkabau keturunan Hindu-Jawa yang telah masuk Islam, sekitar tahun 1679, terjadilah perang perebutan kekuasaan. Perang di Pagaruyung ini terjadi antara keturunan raja Hindu-Jawa dan para pengikutnya di satu pihak dengan para penguasa di Sungai Tarab dan Batipuh di lain pihak. Perang saudara ini berakhir dengan kemenangan di pihak Sungai Tarab dan Batipuh.
Tidak ada data resmi mengapa orang Minangkabau berbondong-bondong menyeberang dan masuk ke Negeri Sembilan. Apakah karena menyelamatkan diri dari berbagai kejadian yang terjadi waktu itu, atau karena memang jiwa perantau dan pedagang yang mendalam, atau karena dua-duanya yang saling berkaitan? Wallahu a’lam.
Yang jelas, perpindahan masyarakat Minang ke Negeri Sembilan juga dengan membawa seluruh tradisi, termasuk arsitektur rumah bagonjong (bertanduk). Ketika ada perhelatan dengan menggunakan pakaian adat, misalnya, akan ditemukan banyak wanita Seramban ataupun Negeri Sembilan menggunakan penutup kepala bagonjong seperti pakaian adat Minangkabau. Arsitektur Museum Seramban juga model rumah besar bertanduk, rumah gadang bagonjong, seperti yang banyak ditemui di Sumatera Barat.
KETUA Nasional Korps Mubaligh Muhammadiyah Tarmizi Taher, yang juga mengunjungi mukimin Minang di Seremban, memuji keinginan untuk membantu memajukan tanah leluhur. “Tindakan itu sangat bagus karena bisa membantu membangun dan menyejahterakan masyarakat daerah asal,” katanya.
Tarmizi, mantan Menteri Agama yang kelahiran Padang, Sumatera Barat, meminta agar mereka menjadi anggota masyarakat Malaysia yang baik. “Ikutilah aturan yang berlaku di tempat tinggal ini. Karena dengan berbuat baik dan bisa diterima oleh masyarakat lingkungan, maka akan lebih banyak manfaat yang didapat,” tambahnya.
Fauzi Hj Abdur Rahman setuju dengan pendapat Tarmizi Taher. “Kami di sini memang berbuat patuh sesuai aturan negara Malaysia. Hitam kata negara, hitam pula kata kami. Putih kata negara, putih pula kata kami,” kata Fauzi mengibaratkan kepatuhan masyarakat Minang kepada Pemerintah Malaysia.
0 comments:
Post a Comment