Merger itu membuat perbedaan proporsi kepemilikan spektrum frekuensi.
Proses merger dua operator seluler PT XL Axiata dan PT Axis Telekom
Indonesia terus berjalan, setelah mengantongi restu dari Menteri
Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring. Kedua operator bahkan
meluncurkan promo baru bertajuk "Bersahabat" pada Desember 2013 lalu.
Namun, meski sudah mendapat lampu hijau dari pemerintah, langkah
penyatuan usaha di bisnis telekomunikasi tersebut masih belum 100 persen
mulus.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) belum merestui merger itu dengan alasan perbedaan kepemilikan spektrum frekuensi.
Anggota Komisioner KPPU Muhammad Syarkawi Rauf berpendapat ada satu
hal yang menarik dari proses merger itu yaitu spektrum frekuensi. Sebab
usai merger, ada perbedaan proporsi kepemilikan spektrum frekuensi.
XL Axiata-Axis memiliki spektrum sebesar 55 MHz. Jumlah spektrum
itu melebihi spektrum PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) yang
memiliki spektrum 50 MHz.
Dari sisi kewajiban layanan pun, XL-Axis lebih ringan, sebab
pelanggan keduanya jika dijumlah sekitar 60 juta pengguna, melebihi
jumlah pelanggan PT Indosat Tbk. Sedangkan Telkomsel dengan spektrum 50
MHz harus melayani 100 juta pelanggan lebih.
"Hal ini memungkinkan pelanggan operator lain berpindah ke
perusahaan merger XL Axiata-Axis demi mendapatkan layanan seluler yang
lebih baik. Sebab, apabila pita makin lebar dan jumlah pengguna sedikit,
layanan seluler relatif menjadi lebih baik dan stabil," ujar Syarkawi.
Untuk itu, dia melanjutkan, KPPU akan fokus pada kondisi pasar dan
kepemilikan frekuensi perusahaan usai merger dan pengaruhnya terhadap
industri seluler Indonesia.
"Kami akan mengawal kepemilikan frekuensi tersebut, apakah akan
berdampak pada pangsa pasar perusahaan hasil merger atau tidak. Untuk
merger frekuensi, kami serahkan aturannya ke pemerintah," kata dia.
Dia mengatakan, KPPU akan meninjau kembali merger XL
Axiata-Axis.Jika ditemukan bukti adanya monopoli akibat kepemilikan
spektrum frekuensi tersebut, ada kemungkinan proses merger akan ditunda.
Vice President Corporate Communication XL Axiata, Turina Farouk, kepada VIVAnews
juga mengaku bahwa proses merger sedang berjalan dan belum tuntas
sepenuhnya. Dia menyerahkan proses penilaian sepenuhnya kepada berbagai
lembaga terkait.
Sebab, selain mendapat "restu" Kominfo, proses pengabungan usaha
itu juga harus mendapat tanda tangan dari KPPU, Badan Koordinasi
Penanaman Modal, dan Otoritas Jasa Keuangan. "Kami sudah serahkan semua
bersama dokumen terkait pada 27 September silam. Memang saat ini tengah
difinalisasi," ujarnya.
Turina mengatakan pihaknya terus mengikuti perkembangan penilaian
awal KPPU itu. Dia berharap penilaian segera selesai dan merger bisa sah
per awal tahun ini. "Semoga akhir Januari nanti sudah bisa closing," katanya.
Gatot Dewabroto, Kepala Informasi dan Humas Kominfo, mengatakan
bahwa seminggu yang lalu Menteri Kominfo Tifatul Sembiring dipanggil
KPPU untuk dimintai keterangan mengenai proses merger XL-Axis.
"Pak Menteri menjelaskan bahwa proses merger itu sudah sesuai
dengan perundang-undangan, tidak ada monopoli, dan sangat transparan,"
ujarnya, saat dihubungi VIVAnews, Selasa 14 Januari 2014.
Memang, kata dia, proses merger ini belum sepenuhnya selesai.
Namun, jika sudah selesai pemerintah dalam hal ini Kominfo akan menarik
kembali spektrum milik Axis masing-masing 5 Mhz pada pita frekuensi
2100 Mhz, yakni pada blok 8 dan 11.
Siapa untung?
Sementara itu, bila menghitung untung dan rugi dari proses merger
antara XL-Axis, Kominfo berpendapat akan lebih banyak keuntungannya bagi
negara. Menurut Gatot, ada tiga keuntungan yang didapat. Bahkan, tidak
ditemukan adanya kerugian.
Pertama, negara mendapatkan keuntungan dari penerimaan negara bukan pajak (PNPB) sebesar Rp1 triliun yang masuk ke kas negara.
Kedua, setelah proses merger selesai, negara juga akan kembali
mendapat pemasukan dari proses lelang frekuensi yang dimiliki oleh Axis.
Ketiga, seperti yang sudah dibicarakan, idealnya jumlah operator
tidak terlalu banyak. Dengan adanya proses merger ini, maka jumlah
operator akan semakin sedikit.
"Pemerintah, dalam hal ini Kominfo tidak menemukan adanya kerugian
dari proses merger XL-Axis. Jadi, bisa dibilang merger tersebut sangat
menguntung negara dan sama sekali tidak merugikan negara," kata Gatot.
Menteri Kominfo Tifatul Sembiring, yang telah merestui merger dua
operator telekomunikasi pada 28 November lalu, juga mengatakan langkah
penarikan frekuensi pada proses merger itu untuk menyelamatkan negara
dari kerugian.
"Jika merger ditunda Axis akan bangkrut, dan potensi PNPB bisa
hilang satu triliun rupiah yang harus dibayarkan sebelum 15 Desember
2013," kata Tifatul, saat dijumpai di Jakarta, 12 Desember lalu.
Ia menjelaskan, dengan menarik 5 Mhz saja, negara dapat berpotensi
mendapatkan pemasukan setidaknya Rp4 trililun, sebab nantinya total 10
Mhz itu rencananya akan dilelang kembali. "Menarik 5 Mhz saja negara
bisa dapat triliunan, apalagi 10 Mhz. Bisa dapat dua kali lipatnya,"
kata dia.
Menurutnya, lelang spektrum 3G 10 Mhz juga dapat meningkatkan PNPB
2013 dan 2014. "Jadi, tak benar ada kerugian negara," tegas Tifatul
meluruskan.
Dalam hal spektrum yang alokasinya terbatas, pemerintah tak ingin
merugi. Untuk itu, setelah melalui pertimbangan dari berbagai aspek,
merger akhirnya disetujui. Jika tak disetujui, negara justru akan
mengalami kerugian dengan kondisi Axis itu.
Yakin berjalan mulus
Sementara itu, Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia
(BRTI), Sigit Puspito Wigati J, pun mengaku optimistis dengan keputusan
yang diambil Menkominfo. "Kami percaya, sebab kajian kami cukup
komprehensif. Secara regulasi bisa dikaji. Proses ini memang perlu
hati-hati," kata dia.
Menurut kajian BRTI, Sigit mengatakan, merger XL-Axis tak
berpotensi merusak atmosfer persaingan di industri. Sebab berdasarkan
kontribusi pendapatan, Axis tergolong kecil, hanya dua persen.
"Kami juga menyimulasikan kondisi setelah merger dan dampaknya
kepada sektor telekomunikasi ya sehat, hampir semua skenario membuat
industri makin sehat," dia menambahkan.
Berdasarkan besaran pangsa pasar pelanggan operator, saat ini
industri telekomunikasi Tanah Air masih didominasi tiga besar. Secara
rinci, pangsa pasar Telkomsel (46 persen), Indosat (22 persen), XL (17
persen), Tri (10 persen), dan Axis (5 persen).
Sedangkan berdasarkan pendapatan, Telkomsel memiliki kontribusi
sebesar 55 persen, Indosat (19 persen), XL (21 persen), Tri (3 persen)
dan Axis (2 persen).
Selain itu, kata Sigit, kondisi industri operator telekomunikasi
saat ini memasuki masa sulit atau jenuh. Maka insiatif merger perlu
diapresiasi. "Dalam kondisi yang megap-megap, kalau ada yang mau
akuisisi justru itu membantu, jadi tidak ada masalah," kata dia.
Sementara itu, pengamat telekomunikasi dari Universitas Indonesia,
Gunawan Wibisono berpendapat, keputusan Menkominfo beserta tim Ad Hoc
yang dibentuknya dinilai kurang transparan.
"Keputusan merger itu bisa saja merupakan buah kompromi, dan yang
memberikan masukan pun BRTI yang notabene merupakan bawahan menteri,"
ujarnya di Jakarta, Senin 13 Januari 2014.
Dia menilai, proses merger ini sejak awal telah melanggar Pasal 25 ayat 1 PP No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum.
"Mereka hanya berlindung pada pasal dua, di mana penggunaan
spektrum frekuensi radio dan orbit satelit dilakukan oleh Menteri.
Padahal, sebenarnya yang boleh diizinkan menteri hanya izin stasiun
radionya, bukan frekuensinya," ujar Wibisono.
Gunawan menambahkan, pengalokasian frekuensi bekas Axis ke XL di
pita 1.800 MHZ pun sebenarnya tidak ada dasarnya, karena hal itu
menjadikan frekuensi XL sama dengan Telkomsel. Padahal, jumlah pelanggan
Telkomsel jauh lebih besar.
Menanggapi hal itu, anggota BRTI, Nonot Harsono, mengatakan,
rekomendasi tim yang tertulis memang tidak ada yang sesuai dengan
keputusan Menkominfo, tetapi rekomendasi yang lisan jauh lebih banyak.
Menurut dia, menteri memilih salah satu saja. Pemerintah tidak menempuh kata pengembalian, tapi rebalancing
atau pengaturan ulang. "Hasil akhir dari penataan frekuensi adalah
keseimbangan daya saing dari 3 besar, yaitu Telkomsel, Indosat, dan XL,"
ungkap Nonot.
Di sisi lain, Nonot tidak menjawab kenapa harus dialokasikan di 1800 MHZ. Dia hanya mengatakan, fokus rebalancing adalah di pita 1800 MHZ dan 2,1 GHZ, jadi bisa dipilih salah satu atau keduanya.
Diketahui, dalam surat Menteri Kominfo
No.1147/M.KOMINFO/UM.01.01/11/2013 tertanggal 28 November 2013, Tifatul
menyebutkan permohonan merger XL-Axis sudah sejalan dengan visi
pemerintah dalam konsolidasi industri telekomunikasi.
Persetujuan itu juga memastikan bahwa pada merger itu tidak
terdapat praktik monopoli atau persaingan usaha yang tidak sehat,
setelah dilakukan kajian dari berbagai aspek. Di antaranya hasil kajian
aspek yuridis dan persaingan usaha, di mana delta Herfindahl-Hirschman
Index (HHI) kurang dari 150.
http://fokus.news.viva.co.id/news/read/473185-siapa-untung-di-balik-merger-xl-axis