Diri Sebagai Pusat Konflik

Posted by Muhammad Irfan on Wednesday, November 13, 2013 with No comments



Apa yang mucul dalam pikiran, ketika kita bertanya apakah diri?

Kebanyakan orang mengira, seolah ada entitas lain di luar pikiran, ada pemikir yang berpikir. Sesungguhnya tidak demikian. Mari kita lihat bahwa pikiran yang bergerak selalu menciptakan dualitas objek dan subjek, dualitas diri yang diamati dan diri yang mengamati, pikiran dan si pemikir.

Subjek yang mengamati atau si pengamat hanyalah ciptaan pikiran. Ketika pikiran berhenti, tidak ada lagi subjek. Karena tidak ada subjek, maka objek yang diamati tidak perlu dinamai objek. Ia cukup disebut realitas apa adanya. Kalau terdapat pengamatan total, maka di sana tidak ada dualitas subjek dan objek. Si pemikir tidak beda dengan pikirannya, si pengamat tidak beda dengan yang diamatinya.

Tidak ada diri di luar pikiran, di luar keinginan, di luar perasaan, di luar kehendak, di luar pengalaman, dan seterusnya. Diri tidak berbeda dari pikiran itu sendiri. Diri atau si aku ciptaan pikiran ini tidaklah nyata. Ia muncul ketika pikiran bergerak dan mengelabui pandangan mata terhadap realitas yang sesungguhnya. Ketika pikiran berakhir, diri juga berakhir.

Diri atau si aku adalah nama lain dari onggokan ingatan, pengalaman, pengetahuan, kepercayaan, timbunan kesakitan, timbunan kenikmatan, keinginan, kemauan, dan seterusnya. Ia seperti rumah aman yang dibangun di atas onggokan sampah ingatan, dipagari dinding-dinding pengalaman atau pengetahuan.

Melalui identifikasi diri, orang menemukan rasa aman atau rasa pasti. Aku mengidentikkan diri dengan pengetahuanku, pengalamanku, keinginanku, tubuhku, rumahku, uangku, pasangan hidupku, keluargaku, karyaku, kebaikanku, prestasiku, dan seterusnya. Dan bentuk identifikasi yang paling membuat aman adalah identifikasi si aku dengan Allahnya.

Si aku ingin terus berlanjut, berkembang dari si aku yang jahat menjadi si aku yang baik, dari si aku yang rendah menjadi si aku yang tinggi. Tidak ada si aku tanpa belenggu pengalaman yang telah lewat, tanpa identifikasi diri, tanpa proyeksi diri ke masa depan, tanpa pergulatan yang hanya melahirkan kenikmatan dan kesakitan.

Diri adalah akar dari kejahatan, karena gerak diri selalu cenderung mengisolasi, mengambil jarak, memecah-belah, menciptakan konflik, mengelabui pandangan terhadap realitas yang sesungguhnya. Sebaik apa pun gambaran kita tentang diri ini, si aku psikologis tetaplah jahat. Bisakah si aku yang jahat berubah menjadi baik? Bagaimana mungkin yang jahat bisa berubah menjadi baik?

Orang mengira diri bisa ber-evolusi dari jahat menjadi baik. Itulah yang menjadi harapan kebanyakan orang. Namun, diri yang baik yang dibayangkan, tidak lebih dari perluasan dari diri yang jahat.

Aku sadar ada kejahatan dalam diriku. Lalu aku berjuang mengalahkan kejahatan. Kita mengira si aku yang jahat ini akan menjadi baik seturut berjalannya waktu lewat perjuangan atau pembiaran. Kenyataannya, orang mendapati dirinya tetap jahat.

Perubahan yang sesungguhnya tidak terjadi dalam gerak waktu. Artinya, diri yang adalah gerak pikiran mesti berakhir sepenuhnya Saat Sekarang, agar terlahir sesuatu yang baru.*

 


Johanes Sudrijanta, SJ
Categories: ,