BURUAN CIUM GUE ( KITA & REMAJA)

Posted by Muhammad Irfan on Wednesday, August 03, 2011 with No comments

Dunia ini senantiasa berhadap-hadapan antara dua kutub nilai yang saling berbeda. Tarik menarik antarkeduanya acapkali menjadikan banyak orang lalu terpilah pada sikap pro dan kontra, terhadap banyak hal.

Ketika AA GYM melakukan “respons qolbu” terhadap sebuah produksi film layar lebar “buruan Cium Gue” (yang diproduksi oleh raja film Indonesia, Raam Punjabi karuan saja sikap pro –kontra itu muncul dari masyrakat.

Sudah tentu, dengan latar kealiman sang mubaligh kondang ditambah dukungan Majelis Ulama Indonesia yang “mengoreksi “ produk tayangan ngepop itu, ia dibenarkan dan didukung oleh masyarakat yang menyandarkan penilaian terhadap perilaku sosial dalam garis pandang etik moral religi. Ia lalu berhadapan kontras dengan pandangan masyarakat yang bersandar pada sikap permisif atau serba boleh.

Toh, itu realitas yang tengah menggejala, mengapa harus alergi? Bukankah tren kehidupan sosiokultural masyarakat modern menganggap bahwa soal cium, mencium, dan berciuman antar lawan jenis adalah sesuatu yang wajar? Sebagian remaja kita juga lakukan hal itu.

Pertaruangan dua nilai pada paradigma yang beda ini memang tidak akan pernah mencapai titik temu yang pas dan selaras. Maka menjadi kurang tepatlah kalau dikatakan pihak yang meminta ditariknya peredaraan dilm Buruan cium Gue itu sebagai kelompok yang mencari sensasi, apalagi jika disebut “car-cari kerjaan” dan mematikan kreativitas insan film.

Kaum agamawan memiliki wilayah tanggung jawab terhadap kontrol perilaku kehidupan sosial. Kalangan insan film juga mempunyai nurani tersendiri dalam menyuarakan kreativitas keseniannya, yang sah memilih sudut-sudut kecenderungan dari dimensi realitas sosial. Wajarlah jika kerap terjadi persilangan nilai pada kutub yang beda.

Apa yang terjadi menjadi tema dari film Buruan Cium Gue itu, menyoal pergaulan remaja memang menjadi persoalan serius bagi para penganjur moral dan kaum agamawan, khususnya Islam. Kita bukan tak tahu dan menutup mata tentang sisi fenomenal yang satu itu.

Bahkan bukan Cuma film itu yang jadi masalah, tetapi juga begitu banyak tayangan lain yang sungguh menjadi perhatian dan keprihatinan kita. Tema kekerasan, kekejaman pelecehan kaum perempuan, peri-perian yang jadi ratu kebenaran, busana yang hampir lepas, penampakan – penampakan perselingkuhan , liputan dunia malam, dan sebagainya.

Itu pulalah yang namanya tren. Tetapi seberapa besarkah hal-hal yang menjadi titik perhatian yang dianggap rawan oleh kaum ulama itu perlu dalam proses pendidikan publik dan kehendak pemerkayaan akhlak bangsa? Di sinilah letak inti permasalahannya.

Kita mempunyai tanggung jawab individual dan sosial untuk mencetak para remaha sebagai generasi masa depan yang salih. Dan jangan lupa brain image Indonesia, suka ataupun tak suka, adalah sebagai negeri muslim terbesar di dunia. Maka menjadi patut jika pandangan etik moralnya itu bersandar pada nilai keagamaan. Tontonan dalam kemasan yang mendidik rasanya yang patut diperbanyak, agar bangsa kita cepat keluar dari krisis moral seperti sekarang ini. Bago insan seni tetaplah berkreativitas pada frame pencerahan publik. Tegur sapa ulama bukan berarti sebagai pembunuhan karakter. Kiranya kita perlu membuat film BAW (Buruan Ambil Wudhu)